Strategi Israel di Suriah semakin jelas usai retorika separatis Druze kepada pemerintahan baru Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.
Israel yang getol melakukan sejumlah operasi terrorisme di berbagai negara tetangganya bergerak mengobok-obok Suriah pasca-kejatuhan Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024, saat Ahmad Shar’a, baru memulai awal poin awal pemerintahannya.
Helikopter Israel secara diam-diam menurunkan senjata, amunisi, dan rompi anti peluru ke wilayah selatan Suriah, bersamaan dengan bantuan kemanusiaan. Pengiriman ini ditujukan untuk memperkuat milisi Druze lokal yang dikenal sebagai Dewan Militer, yang menjadi ujung tombak dukungan Israel di wilayah Suwayda.
Dewan Militer awalnya dibentuk dengan dukungan SDF untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Suriah. Milisi ini terdiri dari mantan anggota tentara Assad dan warga lokal, serta dipimpin oleh tokoh Druze berpengaruh, Tarek Al-Shoufi.
Selain peralatan militer, Israel juga menyalurkan dana bulanan antara 100–200 dolar AS bagi sekitar 3.000 anggota Dewan Militer, sekaligus memberikan pelatihan di wilayah Kurdi utara Suriah. Dukungan ini dimaksudkan agar Druze dapat menjadi kekuatan proxy yang dapat digunakan untuk mengganggu Suriah baru sebagai bagian dari proyek neokolonialisme Greater Israel.
DI lapangan, Israel membentuk “zona penyangga” dan menyediakan pusat logistik tempur berupa bahan bakar, makanan, air, dan perawatan medis bagi penduduk 20 desa Druze melalui klinik militer dekat desa Khadr. Mereka juga mendirikan kantor koordinasi bantuan (COGAT) untuk mengelola bantuan, termasuk senjata ringan.
Hasoun Hasoun, mantan jenderal Druze Israel, memimpin arus yang menyerukan dukungan kepada Druze Suriah sebagai kekuatan proxy Israel, menganggapnya sebagai kebutuhan strategis dan moral.
Pada awalnya, Dewan Militer beroperasi dengan karakter relatif sekuler dan pragmatis. Namun, seiring waktu, terjadi metamorfosa signifikan. Tekanan politik, dinamika internal, dan intervensi Israel menggeser Dewan Militer menjadi entitas yang lebih sektarian, bernuansa identitas Druze yang kuat. Druze sendiri merupakan sempalan Syiah Ismailiyah dan lahir di Mesir.
Sheikh Hikmat Al-Hajri muncul sebagai tokoh sentral dalam transformasi ini. Ia memimpin pergeseran strategi dari Dewan Militer ke pembentukan Garda Nasional Druze, menekankan loyalitas komunitas dan tujuan sektarian. Pergeseran ini juga mencerminkan upaya membangun struktur separatisme Druze dengan legitimasi regional untuk mendirikan negara de facto Jabal Bashan.
Transformasi ini semakin nyata ketika dukungan Israel dialihkan secara bertahap dari Dewan Militer ke Garda Nasional. Fokus pada koordinasi militer diperkuat dengan program pelatihan khusus, serta penyediaan rompi anti peluru, obat-obatan, dan logistik yang berkelanjutan.
Garda Nasional Druze yang baru menegaskan identitas sektarian dalam operasionalnya, berbeda dengan karakter awal Dewan Militer yang lebih pragmatis dan kooperatif dengan SDF. Struktur baru ini menekankan hierarki internal yang dikendalikan oleh Al-Hajri dan putranya, Suleiman.
Perubahan ini menimbulkan dampak signifikan terhadap lanskap politik lokal. Garda Nasional menjadi kekuatan kunci yang mempengaruhi konsentrasi pasukan rezim di Suwayda dan Aleppo, sekaligus membatasi kemampuan Shar’a untuk memusatkan kekuasaan secara efektif.
Israel memandang metamorfosa ini sebagai cara strategis untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Dengan mendukung entitas yang lebih sektarian, Tel Aviv mampu memanfaatkan persaingan internal dan memperlemah kohesi rezim baru tanpa konfrontasi langsung.
Aliran bantuan Israel sempat mencapai puncaknya pada April 2025, ketika milisi Al Hajri berhasil memancing keributan dengan Arab Badui. Tujuanya suara Druze semakin didengar dunia internasional sebagai pihak korban meski awalnya Arab Badui yang diculik.
Garda Nasional terus mempekuat diri dan tetap menerima persediaan militer dan dana bulanan untuk memastikan kontinuitas pengaruhnya. Hal ini menunjukkan kesinambungan strategi Israel untuk mempertahankan aktor proxy yang loyal dan efektif.
Peralihan dari Dewan Militer ke Garda Nasional juga mengubah pola kepemimpinan lokal. Struktur baru menekankan peran ulama dan tokoh masyarakat Druze, menegaskan legitimasi sektarian sekaligus meningkatkan disiplin internal milisi.
Metamorfosa ini membawa konsekuensi bagi hubungan antar-komunitas di Suriah. Garda Nasional yang lebih sektarian mampu mempertahankan identitas Druze, namun juga menimbulkan ketegangan dengan kelompok minoritas lain serta pemerintah pusat. Kelompok Druze lain yang tidak setuju dengan negara de facto itu diculik dan banyak mati di penjara.
Dukungan Israel terhadap entitas baru ini tidak hanya berupa peralatan dan dana, tetapi juga strategi politik baik di kancang global maupun perang urat syaraf di media sosial.
Israel memanfaatkan pengalaman sebelumnya di Lebanon Selatan untuk mengelola risiko konflik internal dan menjaga keseimbangan kekuatan.
Bagi komunitas Druze, khususnya pendukung separatisme, transformasi ini menjadi titik balik. Mereka dari sebelumnya hanya berperan sebagai milisi lokal kini memiliki struktur militer dan politik yang jelas, yang dapat mempengaruhi keputusan strategis regional di Suriah selatan.
Garda Nasional Druze juga memperkuat posisi tawar mereka terhadap pemerintah Suriah. Kehadiran mereka menjadi faktor penyeimbang dalam negosiasi keamanan, serta dalam memonopolis hegemoni lokal tanpa terlalu bergantung pada pusat.
Sheikh Al-Hajri memanfaatkan momentum ini untuk menyusun rencana jangka panjang, termasuk peta wilayah otonomi Druze yang bahkan mencakup area hingga perbatasan Irak, yang disiapkan untuk diajukan kepada pemerintah Barat pada awal 2025.
Langkah ini menunjukkan bahwa metamorfosa kekuatan Druze bukan hanya soal militer, tetapi juga soal manuver politik dan legitimasi sektarian yang diperkuat oleh dukungan eksternal. Garda Nasional kini menjadi simbol kapasitas komunitas untuk mengatur nasib sendiri dan sebagai alat neokolonialisme Greater Israel.
Dengan metamorfosa ini, Israel berhasil menjaga pengaruhnya di Suriah selatan melalui aktor proxy yang loyal, sekaligus membatasi pemeeintahan Shar’a di negaranya sendiri. Strategi ini menegaskan pentingnya kombinasi militer, politik, dan sektarian dalam konflik modern Suriah.
Metamorfosa Druze dari Dewan Militer ke Garda Nasional menandai babak baru dalam politik Suriah. Struktur baru ini memperkuat komunitas Druze, memperluas ruang pengaruh Israel, dan sekaligus menghadirkan tantangan bagi pemerintah pusat dalam upaya membangun kesatuan nasional pasca-konflik.

Posting Komentar