Misteri Asal Kata Timur dan Sejarah

Selama ini, kata "Timur" akrab di telinga kita sebagai penunjuk arah mata angin. Namun, tahukah Anda bahwa asal-usul kata ini dalam khazanah Melayu memiliki kaitan erat dengan jejak peradaban Persia dan seorang tokoh penakluk legendaris? Sejarah dan hikayat lama mengungkap sebuah narasi menarik yang menghubungkan penamaan geografis ini dengan kebiasaan Persia yang merujuk wilayah timur mereka sebagai "bilad timur," merujuk pada nama Timur Lenk.

Dunia Melayu, melalui karya sastra klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu, diduga kuat mengadopsi konsep ini. Yang awalnya adalah sebutan untuk wilayah yang terkait dengan sang penakluk, perlahan berubah menjadi nama arah dan kemudian menjelma menjadi penamaan tempat seperti Pulau Timor. Sebuah adopsi linguistik yang menunjukkan kuatnya interaksi budaya antara peradaban Melayu dan Persia di masa lampau.

Kendati demikian, catatan-catatan Persia klasik ternyata jarang sekali menyebut "al-Timūr" secara spesifik untuk merujuk ke wilayah Nusantara. Sejarawan dan filolog menyoroti bahwa istilah "al-Timūr" (التيمور) untuk Nusantara memang hampir tidak ditemukan dalam teks-teks Persia kuno. Ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana kemudian konsep tersebut bisa terserap dan bertransformasi dalam konteks Melayu.

Buku-buku Arab-Persia abad pertengahan lebih lazim menggunakan istilah lain untuk wilayah timur jauh, termasuk Nusantara. Misalnya, mereka kerap menyebut Bilād al-Masyriq (بلاد المشرق) yang berarti "Negeri-negeri Timur" atau secara langsung merujuk pada Bilād al-Jāwah (بلاد الجاوة) sebagai "Negeri Jawa" atau Nusantara. Bahkan, seringkali mereka langsung menyebut nama pelabuhan-pelabuhan penting seperti Samudra (Pasai), Malaka, atau Kalāh (Kedah).

Namun, tidak berarti tidak ada catatan Persia-Islam penting yang membahas kawasan timur ini. Kitāb ‘Ajā’ib al-Hind karya Buzurg ibn Shahriyar dari abad ke-10 M, sebuah catatan pelayaran Persia, menyebut kawasan pelabuhan timur jauh, termasuk Nusantara, sebagai bagian dari negeri timur (masyriq). Namun, ia tidak secara spesifik menggunakan istilah "timūr" untuk wilayah tersebut.

Demikian pula, Nuhbat al-Dahr fī ‘Ajā’ib al-Barr wa al-Baḥr karya al-Dimashqi pada abad ke-14 M, menyebutkan kawasan Jāwah dan negeri-negeri timur hingga Samudra (Pasai), tetapi tetap konsisten menggunakan istilah "masyriq," bukan "timūr." Ini menunjukkan pola penggunaan terminologi yang serupa di berbagai teks geografis dan historis.

Karya lain, Masālik al-Abṣār fī Mamālik al-Amṣār oleh al-‘Umari (wafat 1349 M), juga menyebut kawasan Samudra Pasai dan Malaka sebagai negeri-negeri yang berada di bilād al-masyriq al-aqṣā (negeri timur jauh). Penekanan pada "masyriq" sebagai penunjuk arah timur tampaknya menjadi standar dalam literatur Arab dan Persia saat itu.

Lalu, bagaimana dengan "Timūr" itu sendiri? Dalam buku sejarah seperti Tārīkh-i Rūzīdah yang membahas dinasti Timuriyah pada abad ke-15 M, kata "Timūr" secara tegas digunakan untuk merujuk kepada Timur Lenk, sang penakluk besar, dan bukan sebagai nama wilayah. Meskipun konsep "bilād al-timūr" kadang muncul dalam teks Persia untuk menunjuk wilayah Asia Timur (termasuk Transoxiana dan Turkestan), belum ada catatan Persia yang secara eksplisit menyebut Nusantara sebagai "al-Timūr."

Kesimpulannya, studi mendalam terhadap sumber-sumber klasik Persia menunjukkan bahwa tidak ada catatan yang secara spesifik menamai Nusantara sebagai "al-Timūr." Sumber-sumber Persia-Arab lebih memilih untuk menggunakan istilah seperti Bilād al-Masyriq (negeri-negeri timur), Bilād al-Jāwah, atau langsung menyebut nama pelabuhan strategis seperti Samudra dan Malaka. Kata "Timūr" dalam konteks tekstual Persia selalu merujuk pada Timur Lenk atau wilayah geografis di Asia Tengah.

Fenomena ini menggarisbawahi kompleksitas penyerapan dan adaptasi linguistik dalam sejarah. Meskipun secara langsung istilah "al-Timūr" tidak merujuk Nusantara dalam teks Persia, kemungkinan besar adaptasi konsep "timur" yang terkait dengan Timur Lenk, atau sekadar arah "masyriq," menjadi inspirasi bagi penamaan dalam dunia Melayu. Ini adalah bukti nyata bagaimana pergerakan ide dan istilah melampaui batasan geografis dan linguistik, membentuk identitas penamaan yang kita kenal hingga hari ini.

Asal Kata "Sejarah": Dari Pohon Keluarga hingga Narasi Masa Lalu

Kata "sejarah" yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu berasal dari bahasa Arab: شجرة (syajaratun). Secara harfiah, "syajaratun" memang berarti "pohon". Pada pandangan pertama, hubungan antara "pohon" dan "masa lalu" mungkin terasa tidak nyambung. Namun, ada penjelasan filosofis dan historis yang kuat di baliknya.

Dalam konteks awal penggunaannya, "syajaratun" yang diserap ke dalam bahasa Melayu mengacu pada pohon silsilah atau pohon keturunan. Ini merujuk pada catatan asal-usul, nenek moyang, dan garis keturunan suatu keluarga, suku, atau bahkan raja-raja. Seperti pohon yang memiliki akar, batang, cabang, ranting, dan daun yang terus tumbuh dan berkembang, silsilah menggambarkan bagaimana suatu garis keturunan bermula dan bercabang seiring waktu.

Dari makna "pohon silsilah" inilah kemudian berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, yaitu catatan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, termasuk asal-usul suatu bangsa, kerajaan, atau peradaban. Konsep pohon sebagai simbol pertumbuhan, perkembangan, dan hubungan antar generasi menjadi analogi yang kuat untuk memahami urutan waktu dan peristiwa dalam kehidupan manusia.

"History" dalam Bahasa Arab: Tarikh dan Istilah Lainnya

Menariknya, dalam bahasa Arab sendiri, konsep "history" atau sejarah tidak diwakili oleh kata "syajaratun". Sebagaimana yang Anda sebutkan, istilah yang paling umum digunakan adalah تاريخ (tarikh).

Kata "tarikh" ini memiliki akar kata yang berkaitan dengan waktu, penentuan waktu, atau penanggalan. Jadi, "ilmu tarikh" secara harfiah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa berdasarkan kronologi waktu. Ini sangat relevan dengan disiplin sejarah modern yang sangat menekankan pada urutan waktu dan periodisasi.

Selain "tarikh", ada juga istilah lain dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan narasi masa lalu, seperti:

 * سيرة (sirah): Biasanya merujuk pada biografi atau riwayat hidup seseorang, terutama Nabi Muhammad SAW (Sirah Nabawiyah). Kata ini menekankan pada cara hidup, perilaku, dan perjalanan seseorang.

 * أخبار (akhbar): Berarti "berita" atau "laporan". Dalam konteks yang lebih luas, bisa merujuk pada catatan peristiwa.
Hubungan dengan Persia: Jalur Penyerapan Kosakata dan Konsep
Hubungan antara bahasa Arab, Persia, dan Melayu dalam konteks kosakata adalah hal yang sangat menarik dan kaya.

 * Pengaruh Persia pada Bahasa Arab: Meskipun bahasa Arab adalah bahasa Semit dan Persia (Farsi) adalah bahasa Indo-Eropa, ada interaksi linguistik yang signifikan antara keduanya, terutama setelah penaklukan Persia oleh Muslim pada abad ke-7. Banyak kosakata Persia yang diserap ke dalam bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan administrasi, budaya istana, dan beberapa aspek kehidupan sosial. Sebaliknya, bahasa Persia mengadopsi abjad Arab dan banyak kosakata Arab, terutama yang berkaitan dengan agama dan ilmu pengetahuan Islam.

 * Penyerapan "Syajaratun" ke Melayu: Mengapa bahasa Melayu mengadopsi "syajaratun" untuk "sejarah" alih-alih "tarikh"?

   * Konsep Silsilah yang Kuat: Kemungkinan besar, pada saat awal interaksi dan penyerapan kosakata, konsep "pohon silsilah" (genealogi) adalah aspek yang sangat menonjol dan relevan dalam masyarakat Melayu untuk mencatat dan memahami masa lalu. Struktur masyarakat yang berbasis pada keturunan raja-raja dan bangsawan menjadikan "syajaratun" sebagai metafora yang pas.

   * Jalur Transmisi Pengetahuan: Pedagang, ulama, dan pengembara dari Jazirah Arab dan Persia memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan bahasa. Mungkin saja dalam transmisi awal, penekanan pada aspek silsilah lebih dominan dalam narasi sejarah yang dibawa dan dipahami oleh masyarakat Melayu.

   * Pengaruh Persia dalam Jalur Islamisasi: Teori masuknya Islam ke Nusantara melalui Persia (selain Arab dan Gujarat) juga memberikan dasar yang kuat bagi penyerapan kosakata. Bahasa Persia sendiri memiliki banyak serapan dari bahasa Arab. Adakalanya, kata-kata Arab yang masuk ke Melayu mungkin sudah melalui "filter" atau interpretasi dalam budaya Persia terlebih dahulu, atau memang ada penekanan tertentu pada makna tertentu dalam tradisi keilmuan Persia yang kemudian sampai ke Nusantara.

   * Perbedaan Fokus Awal: Mungkin pada masa awal, "tarikh" lebih merujuk pada penanggalan atau kronik peristiwa, sementara "syajaratun" lebih merujuk pada narasi yang lebih luas tentang asal-usul dan perkembangan suatu entitas (mirip dengan "history" dalam pengertian modern yang lebih luas dari sekadar tanggal).

Jadi, bisa disimpulkan bahwa asal kata "sejarah" memang dari bahasa Arab "syajaratun" yang berarti pohon, terutama dalam konteks silsilah. Sementara "history" dalam bahasa Arab adalah "tarikh", yang berfokus pada kronologi waktu. Penyerapan "syajaratun" ke dalam bahasa Melayu sebagai "sejarah" mencerminkan fokus awal pada silsilah dan narasi asal-usul. Meskipun bukan secara langsung dari Persia, interaksi budaya dan linguistik yang kompleks di jalur perdagangan dan penyebaran Islam (yang melibatkan Arab, Persia, dan India) kemungkinan besar memengaruhi bagaimana kosakata-kosakata ini diserap dan dimaknai di dunia Melayu.



Share this:

 
Copyright © Berita Tampahan. Designed by OddThemes