IDF dan Konflik di India Timur


Ketegangan etnis di Manipur, India Timur Laut, belakangan kian rumit dengan isu keterlibatan sebagian warga etnis Kuki dalam Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Komunitas Bnei Menashe, keturunan Kuki yang mengaku sebagai Yahudi, telah sejak awal 2000-an melakukan migrasi ke Israel. Sebagian dari mereka kemudian menjalani wajib militer di IDF, memperoleh pelatihan tempur modern, dan pengalaman menghadapi konflik bersenjata.

Fenomena ini mulai berdampak di kampung halaman mereka di Manipur. Saat konflik bersenjata antar etnis kembali pecah sejak 2023, keterampilan militer yang diperoleh di Israel diduga digunakan oleh sebagian warga Kuki dalam bentrokan melawan komunitas Meitei. Media sosial ramai memperbincangkan keberadaan milisi Kuki yang bersenjata modern dan memiliki formasi tempur yang disiplin.

Bnei Menashe terdiri dari kelompok Mizo, Kuki, dan Chin, yang semuanya menggunakan bahasa-bahasa rumpun Tibeto-Burma, dan leluhur mereka bermigrasi ke wilayah timur laut India dari Burma (sekarang Myanmar) terutama pada abad ke-17 dan ke-18. Di Burma, mereka dikenal sebagai Chin. Pada akhir abad ke-20, seorang rabi Israel yang meneliti klaim mereka menamai mereka Bnei Menashe, berdasarkan kisah mereka tentang asal-usul dari suku Menasseh. Dari sekitar 3,7 juta penduduk di dua negara bagian timur laut ini, hanya sekitar 9.000 orang yang tergolong Bnei Menashe, dan beberapa ribu di antaranya telah berimigrasi ke Israel. Sebagian di antara mereka juga mendukung gerakan-gerakan separatis dari India.

Karena kedekatan wilayah dengan daerah mayoritas Muslim Bengal, komunitas Kuki Muslim pun berkembang. Mereka disebut sebagai keturunan laki-laki Kuki yang menikahi perempuan Muslim Bengali, sebuah pernikahan yang mengharuskan sang suami untuk masuk Islam. Komunitas ini sebagian besar bermukim di desa North Chandrapur di kota Udaipur, Tripura. Tokoh-tokoh Kuki Muslim yang dikenal di antaranya adalah Khirod Ali Sardar dari Chandrapur dan Ali Mia dari Sonamura. Komunitas ini kerap menjadi sasaran cemoohan dari kelompok Kuki lainnya.

Dalam berbagai dokumentasi lapangan, terlihat kelompok bersenjata Kuki mengenakan peralatan militer standar, senjata api otomatis, dan melakukan patroli dengan taktik yang menyerupai operasi militer kecil. Hal ini menciptakan dominasi budaya kemiliteran di lingkungan masyarakat Kuki di Manipur, yang sebelumnya dikenal sebagai komunitas agraris pegunungan.

Pengamat keamanan regional mulai menyoroti bagaimana pelatihan di IDF turut membentuk pola pikir, kedisiplinan, dan keahlian militer yang kini diterapkan dalam konflik lokal. Dalam situasi Manipur yang rawan dan berbatasan langsung dengan Myanmar — salah satu jalur penyelundupan senjata — kemampuan tempur ini menjadi modal penting bagi kelompok bersenjata Kuki.

Di sisi lain, dominasi kemiliteran ini memperbesar ketimpangan kekuatan antar komunitas etnis di Manipur. Kelompok Meitei yang menjadi mayoritas di dataran rendah merasa terancam, sementara komunitas Thadou dan etnis pegunungan lainnya mengkhawatirkan kemungkinan eskalasi konflik yang lebih luas akibat adanya kelompok Kuki bersenjata terlatih.

Meitei Alliance dan Thadou Inpi Manipur secara terbuka menyatakan keprihatinan mereka atas fenomena ini. Mereka meminta pemerintah pusat India untuk memantau aktivitas milisi bersenjata di perbukitan Manipur serta menyelidiki kemungkinan adanya jaringan pelatihan militer ilegal di kawasan tersebut.

Situasi ini juga menimbulkan polemik politik karena status 'Any Kuki Tribes' dalam daftar Scheduled Tribes (ST) dianggap memberi keleluasaan berlebih bagi kelompok tertentu untuk memanfaatkan kekuatan bersenjata demi kepentingan politik. Keterampilan militer yang dikuasai sebagian warga Kuki juga dimanfaatkan dalam perebutan wilayah dan sumber daya lokal.

Dominasi budaya kemiliteran di komunitas Kuki memengaruhi kehidupan sosial di wilayah perbukitan Manipur. Anak-anak muda mulai mengidolakan figur-figur bersenjata, dan masyarakat cenderung mengandalkan kekuatan fisik untuk menyelesaikan perselisihan. Kondisi ini makin memperburuk ketegangan antar etnis di daerah yang selama ini minim kehadiran negara.

Beberapa pengamat menyebut bahwa situasi di Manipur mencerminkan bagaimana konflik lokal bisa bertransformasi menjadi perang milisi berbasis identitas jika ada faktor pelatihan militer eksternal. Hal ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas India Timur Laut yang selama ini dihantui isu separatisme dan perbatasan terbuka dengan Myanmar.

Dalam jangka panjang, dominasi pengetahuan militer di masyarakat Kuki diprediksi memperkuat posisi tawar politik mereka. Keterampilan tempur, pengalaman perang, dan akses ke jaringan diaspora Bnei Menashe di luar negeri memberi keuntungan strategis dalam negosiasi lokal maupun nasional.

Di beberapa desa Kuki, bahkan mulai terbentuk kelompok-kelompok paramiliter lokal yang mengadopsi metode pelatihan IDF, mulai dari patroli malam, penggunaan taktik gerilya modern, hingga perakitan senjata rakitan berbasis komponen impor gelap dari Myanmar. Fenomena ini tak lagi sebatas isu bentrokan etnis, tapi berpotensi menjelma menjadi milisi terorganisir.

Pemerintah India pun menghadapi dilema besar. Tindakan tegas bisa memicu perlawanan lebih luas, namun membiarkan dominasi kemiliteran ini berkembang berarti mengancam stabilitas kawasan. Hingga kini, New Delhi belum mengambil langkah konkret, meski laporan intelijen soal pengaruh diaspora militer Kuki semakin kuat.

Ketegangan antar etnis Meitei-Kuki pun makin sulit diredakan karena perbedaan kekuatan di lapangan. Komunitas Meitei menuduh bahwa sebagian senjata dan taktik tempur Kuki berasal dari eks anggota IDF, meski hingga kini klaim itu belum diverifikasi secara resmi. Namun, bukti di media sosial memperlihatkan eksistensi milisi Kuki dengan senjata modern.

Di sisi lain, para pemimpin adat dan agama di Manipur berupaya mendorong dialog damai, tapi dominasi militer di lingkungan Kuki membuat upaya tersebut kerap gagal. Masyarakat lebih memilih solusi bersenjata ketimbang perundingan, terlebih setelah keberhasilan beberapa operasi bersenjata yang membuat posisi mereka di kawasan perbukitan makin kuat.

Situasi ini kian rumit dengan keberadaan kamp pengungsi Meitei yang terus bertambah akibat bentrokan sporadis. Pemerintah daerah kesulitan mengatur distribusi bantuan dan menjaga keamanan karena pertempuran antar komunitas makin brutal. Senjata modern di tangan warga sipil membuat situasi sulit dikendalikan.

Dengan terus berkembangnya pengaruh kemiliteran di komunitas Kuki, kawasan Manipur berpotensi menjadi salah satu zona konflik bersenjata antar etnis paling berbahaya di Asia Selatan. Dominasi ini akan memperpanjang ketegangan identitas, memperbesar kesenjangan kekuatan, dan menjauhkan solusi damai berbasis dialog.

Tanpa langkah cepat untuk membatasi peredaran senjata, memutus jalur pelatihan militer non-negara, serta memperkuat dialog antarkomunitas, Manipur berisiko terjerumus dalam perang milisi berkepanjangan. Situasi ini bisa menjadi preseden buruk bagi kawasan India Timur Laut dan perbatasan India-Myanmar yang selama ini dikenal rentan konflik bersenjata.

Share this:

 
Copyright © Berita Tampahan. Designed by OddThemes