Teknologi
Wisata
Nasional
Latest Updates
Palestina Tolak Pengakuan Israel atas Somaliland
Yaman Kini: Negeri Multi Wajah dan Dinamika Kompleks
Kolaborasi Israel dan Separtis Druze Merongrong Suriah dari Dalam
Milisi Gaza Pro Israel Bantah Pemimpinnya Dibunuh Hamas
Perkembangan Penyatuan Suriah, Proposal dari Kurdi
Keputusan mengejutkan datang dari wilayah timur laut Suriah, ketika komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, mengumumkan rencana untuk menyerahkan kendali atas institusi-institusi sipil kepada pemerintah pusat di Damaskus. Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan terbuka di kota Al-Shaddadi, provinsi Hasakah, dan segera memantik diskusi luas mengenai arah baru hubungan antara otonomi Kurdi dan pemerintahan Presiden Ahmad Al Sharaa. Meski disampaikan dalam suasana damai, langkah ini membawa banyak pertanyaan tentang masa depan kawasan yang selama bertahun-tahun beroperasi secara independen.
Dalam pidatonya, Abdi menegaskan bahwa langkah penyerahan institusi sipil ini bukan berarti SDF menyerah atau membubarkan struktur otonomi yang telah mereka bangun. Ia menyebutkan bahwa lembaga-lembaga sipil seperti pendidikan, kesehatan, dan catatan sipil akan mulai diserahkan kepada Damaskus, dimulai dari wilayah Deir ez-Zor. Rencana ini kemudian akan meluas ke wilayah Raqqa dan Hasakah, yang selama ini menjadi pusat pemerintahan Kurdi di Suriah.
Abdi juga menjelaskan bahwa militer dan struktur keamanan lokal akan tetap berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah. Ia dengan tegas menyebut bahwa tidak ada niat untuk membubarkan kekuatan pertahanan lokal atau mengintegrasikannya secara langsung ke dalam militer Suriah. Menurutnya, keberadaan militer lokal adalah kunci bagi stabilitas kawasan dan harus dihormati dalam proses negosiasi apapun.
Kebijakan ini mencerminkan pendekatan pragmatis dari pihak Kurdi yang ingin menghindari konfrontasi berkepanjangan dengan Damaskus, sambil tetap mempertahankan elemen-elemen inti dari otonomi mereka. Keputusan tersebut juga mencerminkan adanya tekanan eksternal dan internal untuk menemukan solusi politik jangka panjang atas konflik di Suriah yang belum juga usai sejak meletusnya perang pada 2011.
Langkah yang ditempuh Abdi mengundang perbandingan dengan beberapa wilayah di dunia yang pernah atau sedang menerapkan pembagian kekuasaan serupa. Salah satu yang paling sering disebut adalah Kurdistan di Irak. Di wilayah ini, pemerintah daerah otonom mengelola institusi sipil secara penuh dan memiliki kekuatan militer sendiri (Peshmerga), meskipun secara konstitusional tetap berada di dalam negara Irak. Model ini telah berjalan relatif stabil dan memberi Kurdi Irak ruang politik yang luas. Namun hal mirip tidak menghasilkan wajah damai jika dilihat di Israel-Palestina.
Namun, pendekatan Kurdi Suriah tampaknya mengambil jalan yang berbeda, yaitu menyerahkan sipil tapi mempertahankan militer. Ini berbeda pula dengan model Hong Kong sebelum 2020, di mana kota itu memiliki otonomi sipil yang luas namun semua urusan militer dan keamanan tetap berada di bawah kontrol pemerintah pusat Tiongkok. Perbedaan ini menyoroti bahwa kompromi bisa terjadi dalam berbagai bentuk tergantung pada konteks politik dan sejarah masing-masing.
Sementara itu, Bosnia dan Herzegovina menawarkan contoh negara yang terdiri dari dua entitas utama dengan sistem administratif dan hukum terpisah. Dalam kasus ini, administrasi sipil dibagi antara Federasi Bosnia dan Republika Srpska, sedangkan militer sempat bersifat terpisah sebelum akhirnya disatukan secara formal. Proses itu berlangsung penuh ketegangan, menunjukkan bahwa pembagian kekuasaan semacam ini sulit untuk dipertahankan dalam jangka panjang tanpa fondasi hukum yang kuat.
Norwegia juga punya contoh menarik melalui wilayah Svalbard, yang meskipun berada di bawah kedaulatan Norwegia, dikelola secara sipil berdasarkan perjanjian internasional yang melarang aktivitas militer di wilayah itu. Ini adalah contoh unik di mana pengelolaan sipil dan pembatasan militer dibentuk secara hukum dan berlaku secara konsisten, meski tidak sepenuhnya relevan dengan konteks konflik di Suriah.
Ada pula kasus Somaliland, wilayah di utara Somalia yang memproklamirkan kemerdekaannya secara sepihak sejak 1991. Meskipun tidak diakui secara internasional, Somaliland mengelola pemerintahan sipil dan sistem keamanannya sendiri secara independen. Namun tidak seperti otonomi Kurdi, wilayah ini justru memutuskan semua hubungan administratif dengan pemerintah pusat di Mogadishu. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa pengakuan internasional dan struktur konstitusional, otonomi bisa terjebak dalam status quo yang tak menentu.
Situasi Kurdi di Suriah tampak berusaha mencari jalur tengah di antara berbagai model itu. Dengan menyerahkan administrasi sipil namun tetap mempertahankan kekuatan militer, mereka tampaknya mengincar keseimbangan antara legalitas negara dan kenyataan kekuasaan di lapangan. Namun, tanpa adanya kepastian dari pihak Damaskus mengenai keberlangsungan status militer dan otonomi lokal, banyak yang menilai langkah ini bisa menjadi jebakan politik.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa tim teknis gabungan dari pihak Kurdi dan pemerintah Suriah akan segera dibentuk untuk membahas detail teknis proses serah terima. Proses ini diperkirakan melibatkan serangkaian pertemuan koordinasi tentang kurikulum sekolah, sistem kesehatan, hingga pengelolaan catatan sipil yang selama ini ditangani secara lokal oleh otoritas Kurdi.
Langkah tersebut disambut dengan beragam tanggapan dari warga di wilayah-wilayah otonom. Sebagian menilai ini sebagai kompromi wajar untuk menghindari konflik, sementara yang lain khawatir bahwa ini akan menjadi awal dari pembubaran perlahan terhadap struktur otonomi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Ketidakjelasan sikap Damaskus memperparah kekhawatiran tersebut.
Di sisi lain, kehadiran militer asing di wilayah Suriah, termasuk pasukan Amerika dan Rusia, turut mempersulit dinamika ini. SDF sendiri selama ini sangat bergantung pada dukungan Amerika Serikat untuk pertahanan dan pelatihan militer. Masuknya kembali Damaskus ke institusi sipil bisa memicu pertanyaan serius di Washington terkait masa depan komitmen mereka terhadap otonomi Kurdi.
Banyak pihak menilai bahwa kompromi seperti ini bisa menjadi model untuk mengakhiri konflik Suriah secara bertahap, melalui proses konsolidasi administratif yang tidak bersifat konfrontatif. Namun, sejarah panjang konflik di kawasan ini menunjukkan bahwa kesepakatan semacam itu sering kali rapuh dan rentan gagal tanpa jaminan politik yang kuat.
Jika berhasil, langkah ini dapat menjadi preseden bagi wilayah lain di Suriah yang kini masih berada di bawah kontrol kelompok non-negara. Tetapi jika gagal, ini bisa memicu instabilitas baru yang lebih kompleks karena benturan kepentingan antara lokalitas otonom dan keinginan pusat untuk mengkonsolidasikan kembali seluruh wilayahnya.
Langkah ini juga akan diuji oleh kelompok-kelompok Arab lokal di wilayah seperti Deir ez-Zor, yang sebelumnya menunjukkan ketegangan dengan dominasi Kurdi dalam pemerintahan lokal. Jika Damaskus masuk tanpa sensitivitas terhadap ketegangan etnis dan sektarian, maka proses integrasi ini bisa memicu kembali ketegangan lama.
Sejumlah diplomat dari negara-negara Eropa dan PBB dilaporkan telah menyatakan minat untuk memantau proses ini dari dekat. Mereka berharap bahwa pergeseran ini dapat menciptakan ruang diplomasi yang lebih luas antara oposisi moderat dan pemerintah Suriah. Namun semuanya akan bergantung pada konsistensi kebijakan dari kedua pihak yang bersangkutan.
Pernyataan Mazloum Abdi bisa dibaca sebagai sinyal bahwa pihak Kurdi membuka ruang negosiasi, namun tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja. Otonomi mereka bukan hanya soal kelembagaan, tetapi menyangkut identitas dan keselamatan komunitas Kurdi yang selama ini rentan ditekan oleh aktor-aktor regional.
Langkah pembagian kekuasaan seperti ini mungkin tidak sempurna, namun dalam konteks Suriah yang sudah hancur akibat perang, setiap upaya kompromi patut dipertimbangkan. Dunia kini menunggu apakah perjanjian antara Damaskus dan wilayah Kurdi ini akan menjadi solusi atau justru membuka babak baru ketegangan.
Mana Lebih Dulu Menganut Islam: Harahap atau Chola?
Mana Lebih Dulu Menganut Islam: Harahap atau Chola? (Sebuah Analisis/Belum Tentu Benar)
Perdebatan sejarah tentang siapa lebih dahulu memeluk Islam antara marga Harahap dan komunitas Chola dari India Selatan menarik untuk dikaji. Sebab, keduanya kerap disebut memiliki jejak hubungan dengan Islam dalam konteks perjalanan panjang sejarah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun, jika menggunakan versi asal-usul Harahap dari "Halak Arab" atau "Hera Ahap" (dengan tetap menghargai versi lain), maka ada indikasi kuat dan bisa dipastikan bahwa Islam telah lebih dahulu hadir di tengah komunitas leluhur Harahap sebelum mencapai Chola di Tamil Nadu, karena Nabi Muhammad SAW sendiri dan orang disekitarnya adalah orang Arab.
Versi ini menyebut bahwa Harahap berasal dari kelompok Arab yang telah lama menetap di wilayah Nusantara, khususnya di Sumatera Utara. Mereka dikenal sebagai kelompok pedagang yang telah berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat lokal jauh sebelum kedatangan kolonialisme ataupun ekspansi kerajaan-kerajaan dari luar pulau. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin komunitas ini telah memeluk Islam sejak awal Islam tersebar melalui bangsa Arab.
Islam diyakini telah diturunkan sejak Nabi Adam AS, namun secara historis, ajaran Islam yang sempurna dan terstruktur dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW di abad ke-7 Masehi. Sejak itu, Islam menyebar dari Mekkah dan Madinah ke seluruh dunia melalui dakwah, perdagangan, dan migrasi. Orang-orang Arab dari kawasan seperti Yaman, Hadhramaut, dan bahkan Oman telah menjelajah wilayah Nusantara jauh sebelum kolonialisme Barat datang.
Sementara itu, Chola merupakan nama besar dalam sejarah kerajaan di India Selatan. Rajendra Chola I, sang penguasa besar abad ke-11 Masehi, dikenal sebagai raja yang ekspansif dan menyerang wilayah Sriwijaya, termasuk Barus di pantai barat Sumatera. Setelah peristiwa itu, nama Angkola perlahan teebentuk di sekitar Sungai Batang Angkola yang diperkirakan dinamai dari Rajendra Chola.
Meski kemungkinan di antara pasukan Chola ada yang muslim, bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa kerajaan Chola pada masa itu belum menganut Islam. Mereka adalah penganut sekte Shaiva, walau sudah menjalin kontak dengan pedagang Muslim.
Penelitian arkeologis dan sumber-sumber Tiongkok menyebutkan bahwa komunitas Arab dan umat Islam telah hadir di wilayah pesisir Sumatera sejak awal abad hijriyah. Situs Bongal di Tapanuli Tengah menjadi saksi arkeologis bahwa interaksi dengan dunia Islam sudah berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-9 Masehi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa sebagian masyarakat lokal, termasuk nenek moyang marga Harahap yang berasal dari Halak Arab, sudah berislam pada masa itu.
Masuk akal jika leluhur Harahap yang berasal dari jalur Arab telah lebih dahulu mengenal Islam dibandingkan komunitas Cholia atau Tamil Muslim yang baru terdengar gaungnya setelah abad ke-13. Sebab, Islam di India Selatan baru benar-benar berkembang pasca runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan setelah pengaruh Gujarat dan Arab semakin kuat di wilayah pesisir India.
Tidak dapat dipungkiri bahwa invasi Chola ke wilayah Sriwijaya membawa pengaruh budaya dan militer yang signifikan. Namun tidak ada bukti konkret bahwa Rajendra Chola dan pengikutnya beragenda dakwah Islam saat mereka menginvasi Sumatera. Mereka justru dipandang sebagai kekuatan non-muslim yang berhadapan dengan komunitas Muslim lokal, khususnya di Barus.
Kedatangan orang Arab ke Sumatera bukan sekadar persinggahan, tetapi juga membentuk komunitas tetap, membangun permukiman, dan bahkan ikut mengembangkan budaya lokal, termasuk kemudian peradaban marga Harahap di Angkola.
Tradisi, bahasa, dan sistem sosial sebagian etnis di pesisir Sumatera, termasuk Tapanuli, menunjukkan adanya pengaruh Arab yang kuat, yang sering kali juga dikaitkan dengan marga Harahap.
Sementara itu, komunitas Cholia atau Chulia Tamil yang dikenal sebagai Muslim di Semenanjung Malaya, Sri Lanka, dan Indonesia merupakan hasil dari konversi Islam berabad-abad setelah era Chola. Mereka adalah pedagang Tamil yang menjadi Islam setelah mengalami kontak dagang dengan Arab dan Gujarat, bukan sejak zaman Rajendra Chola.
Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa jika kita mengacu pada versi Harahap sebagai keturunan Halak Arab, maka komunitas ini telah terlebih dahulu menganut Islam sebelum munculnya komunitas Muslim di kalangan Tamil atau Cholia/Angkola. Mereka membawa serta ajaran Islam ke bumi Sumatera bahkan sebelum banyak kerajaan di Asia Selatan memeluknya.
Dengan demikian, versi yang mengaitkan Harahap dengan Halak Arab bukan hanya menawarkan perspektif etnis, tetapi juga membawa narasi kronologis yang lebih tua tentang keislaman. Hal ini memberikan makna baru dalam memahami dinamika Islamisasi awal di Nusantara, yang kerap hanya diasosiasikan dengan pedagang Gujarat dan Wali Songo.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian leluhur marga Harahap—bila versi Halak Arab diterima—telah menganut Islam sebelum era kekuasaan Chola dan sebelum munculnya konversi besar-besaran di India Selatan. Dalam konteks ini, Islam di Sumatera muncul bukan sebagai hasil penaklukan, tapi sebagai bagian dari jaringan dagang dan migrasi spiritual yang melintasi benua.
Narasi ini menjadi penting untuk meninjau ulang sejarah lokal yang sering kali terpinggirkan oleh narasi-narasi besar dari luar. Dalam konteks sejarah global Islam, peran komunitas Arab di pesisir Sumatera menunjukkan bahwa Islam datang lebih awal, lebih dalam, dan lebih organik daripada yang sering dibayangkan.
Jika demikian, maka marga Harahap, berdasarkan versi keturunan Halak Arab, memiliki sejarah keislaman yang lebih tua daripada komunitas Angkola atau Cholia India Selatan. Sejarah ini bukan hanya soal garis keturunan, tetapi juga soal kedalaman jejak Islam di Nusantara sejak masa paling awal penyebarannya.
Baca selanjutnya:
1. Sejarah India
https://www.facebook.com/share/p/14F3B7TyD2u/
https://www.facebook.com/share/p/19SD5qbjrn/
https://www.facebook.com/share/p/1RbYx4E1wx/
2. Pelayaran Arab ke Nusantara
https://www.facebook.com/share/p/1EnwgnNg1V/
3. Prasasti Chola
https://www.facebook.com/share/p/1AaNysnKGr/
https://www.facebook.com/share/p/1AWEkZB71o/
4. Versi Harahap (Halak Arab)
https://www.asahansatu.co.id/disebut-bayo-angin-ternyata-seperti-ini-sejarah-marga-harahap/
https://www.facebook.com/share/p/19CceRb3do/
https://www.facebook.com/share/p/16uEKmrQrB/
5. Sejarah Batak
https://www.facebook.com/share/p/1Eo8qmZDyh/
