Teknologi

Wisata

Nasional

Latest Updates

Perkembangan Penyatuan Suriah, Proposal dari Kurdi

Senin, Juli 28, 2025


Keputusan mengejutkan datang dari wilayah timur laut Suriah, ketika komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, mengumumkan rencana untuk menyerahkan kendali atas institusi-institusi sipil kepada pemerintah pusat di Damaskus. Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan terbuka di kota Al-Shaddadi, provinsi Hasakah, dan segera memantik diskusi luas mengenai arah baru hubungan antara otonomi Kurdi dan pemerintahan Presiden Ahmad Al Sharaa. Meski disampaikan dalam suasana damai, langkah ini membawa banyak pertanyaan tentang masa depan kawasan yang selama bertahun-tahun beroperasi secara independen.

Dalam pidatonya, Abdi menegaskan bahwa langkah penyerahan institusi sipil ini bukan berarti SDF menyerah atau membubarkan struktur otonomi yang telah mereka bangun. Ia menyebutkan bahwa lembaga-lembaga sipil seperti pendidikan, kesehatan, dan catatan sipil akan mulai diserahkan kepada Damaskus, dimulai dari wilayah Deir ez-Zor. Rencana ini kemudian akan meluas ke wilayah Raqqa dan Hasakah, yang selama ini menjadi pusat pemerintahan Kurdi di Suriah.

Abdi juga menjelaskan bahwa militer dan struktur keamanan lokal akan tetap berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah. Ia dengan tegas menyebut bahwa tidak ada niat untuk membubarkan kekuatan pertahanan lokal atau mengintegrasikannya secara langsung ke dalam militer Suriah. Menurutnya, keberadaan militer lokal adalah kunci bagi stabilitas kawasan dan harus dihormati dalam proses negosiasi apapun.

Kebijakan ini mencerminkan pendekatan pragmatis dari pihak Kurdi yang ingin menghindari konfrontasi berkepanjangan dengan Damaskus, sambil tetap mempertahankan elemen-elemen inti dari otonomi mereka. Keputusan tersebut juga mencerminkan adanya tekanan eksternal dan internal untuk menemukan solusi politik jangka panjang atas konflik di Suriah yang belum juga usai sejak meletusnya perang pada 2011.

Langkah yang ditempuh Abdi mengundang perbandingan dengan beberapa wilayah di dunia yang pernah atau sedang menerapkan pembagian kekuasaan serupa. Salah satu yang paling sering disebut adalah Kurdistan di Irak. Di wilayah ini, pemerintah daerah otonom mengelola institusi sipil secara penuh dan memiliki kekuatan militer sendiri (Peshmerga), meskipun secara konstitusional tetap berada di dalam negara Irak. Model ini telah berjalan relatif stabil dan memberi Kurdi Irak ruang politik yang luas. Namun hal mirip tidak menghasilkan wajah damai jika dilihat di Israel-Palestina.

Namun, pendekatan Kurdi Suriah tampaknya mengambil jalan yang berbeda, yaitu menyerahkan sipil tapi mempertahankan militer. Ini berbeda pula dengan model Hong Kong sebelum 2020, di mana kota itu memiliki otonomi sipil yang luas namun semua urusan militer dan keamanan tetap berada di bawah kontrol pemerintah pusat Tiongkok. Perbedaan ini menyoroti bahwa kompromi bisa terjadi dalam berbagai bentuk tergantung pada konteks politik dan sejarah masing-masing.

Sementara itu, Bosnia dan Herzegovina menawarkan contoh negara yang terdiri dari dua entitas utama dengan sistem administratif dan hukum terpisah. Dalam kasus ini, administrasi sipil dibagi antara Federasi Bosnia dan Republika Srpska, sedangkan militer sempat bersifat terpisah sebelum akhirnya disatukan secara formal. Proses itu berlangsung penuh ketegangan, menunjukkan bahwa pembagian kekuasaan semacam ini sulit untuk dipertahankan dalam jangka panjang tanpa fondasi hukum yang kuat.

Norwegia juga punya contoh menarik melalui wilayah Svalbard, yang meskipun berada di bawah kedaulatan Norwegia, dikelola secara sipil berdasarkan perjanjian internasional yang melarang aktivitas militer di wilayah itu. Ini adalah contoh unik di mana pengelolaan sipil dan pembatasan militer dibentuk secara hukum dan berlaku secara konsisten, meski tidak sepenuhnya relevan dengan konteks konflik di Suriah.

Ada pula kasus Somaliland, wilayah di utara Somalia yang memproklamirkan kemerdekaannya secara sepihak sejak 1991. Meskipun tidak diakui secara internasional, Somaliland mengelola pemerintahan sipil dan sistem keamanannya sendiri secara independen. Namun tidak seperti otonomi Kurdi, wilayah ini justru memutuskan semua hubungan administratif dengan pemerintah pusat di Mogadishu. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa pengakuan internasional dan struktur konstitusional, otonomi bisa terjebak dalam status quo yang tak menentu.

Situasi Kurdi di Suriah tampak berusaha mencari jalur tengah di antara berbagai model itu. Dengan menyerahkan administrasi sipil namun tetap mempertahankan kekuatan militer, mereka tampaknya mengincar keseimbangan antara legalitas negara dan kenyataan kekuasaan di lapangan. Namun, tanpa adanya kepastian dari pihak Damaskus mengenai keberlangsungan status militer dan otonomi lokal, banyak yang menilai langkah ini bisa menjadi jebakan politik.

Sejumlah laporan menyebutkan bahwa tim teknis gabungan dari pihak Kurdi dan pemerintah Suriah akan segera dibentuk untuk membahas detail teknis proses serah terima. Proses ini diperkirakan melibatkan serangkaian pertemuan koordinasi tentang kurikulum sekolah, sistem kesehatan, hingga pengelolaan catatan sipil yang selama ini ditangani secara lokal oleh otoritas Kurdi.

Langkah tersebut disambut dengan beragam tanggapan dari warga di wilayah-wilayah otonom. Sebagian menilai ini sebagai kompromi wajar untuk menghindari konflik, sementara yang lain khawatir bahwa ini akan menjadi awal dari pembubaran perlahan terhadap struktur otonomi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Ketidakjelasan sikap Damaskus memperparah kekhawatiran tersebut.

Di sisi lain, kehadiran militer asing di wilayah Suriah, termasuk pasukan Amerika dan Rusia, turut mempersulit dinamika ini. SDF sendiri selama ini sangat bergantung pada dukungan Amerika Serikat untuk pertahanan dan pelatihan militer. Masuknya kembali Damaskus ke institusi sipil bisa memicu pertanyaan serius di Washington terkait masa depan komitmen mereka terhadap otonomi Kurdi.

Banyak pihak menilai bahwa kompromi seperti ini bisa menjadi model untuk mengakhiri konflik Suriah secara bertahap, melalui proses konsolidasi administratif yang tidak bersifat konfrontatif. Namun, sejarah panjang konflik di kawasan ini menunjukkan bahwa kesepakatan semacam itu sering kali rapuh dan rentan gagal tanpa jaminan politik yang kuat.

Jika berhasil, langkah ini dapat menjadi preseden bagi wilayah lain di Suriah yang kini masih berada di bawah kontrol kelompok non-negara. Tetapi jika gagal, ini bisa memicu instabilitas baru yang lebih kompleks karena benturan kepentingan antara lokalitas otonom dan keinginan pusat untuk mengkonsolidasikan kembali seluruh wilayahnya.

Langkah ini juga akan diuji oleh kelompok-kelompok Arab lokal di wilayah seperti Deir ez-Zor, yang sebelumnya menunjukkan ketegangan dengan dominasi Kurdi dalam pemerintahan lokal. Jika Damaskus masuk tanpa sensitivitas terhadap ketegangan etnis dan sektarian, maka proses integrasi ini bisa memicu kembali ketegangan lama.

Sejumlah diplomat dari negara-negara Eropa dan PBB dilaporkan telah menyatakan minat untuk memantau proses ini dari dekat. Mereka berharap bahwa pergeseran ini dapat menciptakan ruang diplomasi yang lebih luas antara oposisi moderat dan pemerintah Suriah. Namun semuanya akan bergantung pada konsistensi kebijakan dari kedua pihak yang bersangkutan.

Pernyataan Mazloum Abdi bisa dibaca sebagai sinyal bahwa pihak Kurdi membuka ruang negosiasi, namun tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja. Otonomi mereka bukan hanya soal kelembagaan, tetapi menyangkut identitas dan keselamatan komunitas Kurdi yang selama ini rentan ditekan oleh aktor-aktor regional.

Langkah pembagian kekuasaan seperti ini mungkin tidak sempurna, namun dalam konteks Suriah yang sudah hancur akibat perang, setiap upaya kompromi patut dipertimbangkan. Dunia kini menunggu apakah perjanjian antara Damaskus dan wilayah Kurdi ini akan menjadi solusi atau justru membuka babak baru ketegangan.

Baca selanjutnya

‎Mana Lebih Dulu Menganut Islam: Harahap atau Chola?

Senin, Juli 21, 2025

‎Mana Lebih Dulu Menganut Islam: Harahap atau Chola? (Sebuah Analisis/Belum Tentu Benar)

‎Perdebatan sejarah tentang siapa lebih dahulu memeluk Islam antara marga Harahap dan komunitas Chola dari India Selatan menarik untuk dikaji. Sebab, keduanya kerap disebut memiliki jejak hubungan dengan Islam dalam konteks perjalanan panjang sejarah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun, jika menggunakan versi asal-usul Harahap dari "Halak Arab" atau "Hera Ahap" (dengan tetap menghargai versi lain), maka ada indikasi kuat dan bisa dipastikan bahwa Islam telah lebih dahulu hadir di tengah komunitas leluhur Harahap sebelum mencapai Chola di Tamil Nadu, karena Nabi Muhammad SAW sendiri dan orang disekitarnya adalah orang Arab.

‎Versi ini menyebut bahwa Harahap berasal dari kelompok Arab yang telah lama menetap di wilayah Nusantara, khususnya di Sumatera Utara. Mereka dikenal sebagai kelompok pedagang yang telah berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat lokal jauh sebelum kedatangan kolonialisme ataupun ekspansi kerajaan-kerajaan dari luar pulau. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin komunitas ini telah memeluk Islam sejak awal Islam tersebar melalui bangsa Arab.

‎Islam diyakini telah diturunkan sejak Nabi Adam AS, namun secara historis, ajaran Islam yang sempurna dan terstruktur dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW di abad ke-7 Masehi. Sejak itu, Islam menyebar dari Mekkah dan Madinah ke seluruh dunia melalui dakwah, perdagangan, dan migrasi. Orang-orang Arab dari kawasan seperti Yaman, Hadhramaut, dan bahkan Oman telah menjelajah wilayah Nusantara jauh sebelum kolonialisme Barat datang.

‎Sementara itu, Chola merupakan nama besar dalam sejarah kerajaan di India Selatan. Rajendra Chola I, sang penguasa besar abad ke-11 Masehi, dikenal sebagai raja yang ekspansif dan menyerang wilayah Sriwijaya, termasuk Barus di pantai barat Sumatera. Setelah peristiwa itu, nama Angkola perlahan teebentuk di sekitar Sungai Batang Angkola yang diperkirakan dinamai dari Rajendra Chola.

‎Meski kemungkinan di antara pasukan Chola ada yang muslim, bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa kerajaan Chola pada masa itu belum menganut Islam. Mereka adalah penganut sekte Shaiva, walau sudah menjalin kontak dengan pedagang Muslim.

‎Penelitian arkeologis dan sumber-sumber Tiongkok menyebutkan bahwa komunitas Arab dan umat Islam telah hadir di wilayah pesisir Sumatera sejak awal abad hijriyah. Situs Bongal di Tapanuli Tengah menjadi saksi arkeologis bahwa interaksi dengan dunia Islam sudah berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-9 Masehi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa sebagian masyarakat lokal, termasuk nenek moyang marga Harahap yang berasal dari Halak Arab, sudah berislam pada masa itu.

‎Masuk akal jika leluhur Harahap yang berasal dari jalur Arab telah lebih dahulu mengenal Islam dibandingkan komunitas Cholia atau Tamil Muslim yang baru terdengar gaungnya setelah abad ke-13. Sebab, Islam di India Selatan baru benar-benar berkembang pasca runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan setelah pengaruh Gujarat dan Arab semakin kuat di wilayah pesisir India.

‎Tidak dapat dipungkiri bahwa invasi Chola ke wilayah Sriwijaya membawa pengaruh budaya dan militer yang signifikan. Namun tidak ada bukti konkret bahwa Rajendra Chola dan pengikutnya beragenda dakwah Islam saat mereka menginvasi Sumatera. Mereka justru dipandang sebagai kekuatan non-muslim yang berhadapan dengan komunitas Muslim lokal, khususnya di Barus.

‎Kedatangan orang Arab ke Sumatera bukan sekadar persinggahan, tetapi juga membentuk komunitas tetap, membangun permukiman, dan bahkan ikut mengembangkan budaya lokal, termasuk kemudian peradaban marga Harahap di Angkola.

‎Tradisi, bahasa, dan sistem sosial sebagian etnis di pesisir Sumatera, termasuk Tapanuli, menunjukkan adanya pengaruh Arab yang kuat, yang sering kali juga dikaitkan dengan marga Harahap.

‎Sementara itu, komunitas Cholia atau Chulia Tamil yang dikenal sebagai Muslim di Semenanjung Malaya, Sri Lanka, dan Indonesia merupakan hasil dari konversi Islam berabad-abad setelah era Chola. Mereka adalah pedagang Tamil yang menjadi Islam setelah mengalami kontak dagang dengan Arab dan Gujarat, bukan sejak zaman Rajendra Chola.

‎Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa jika kita mengacu pada versi Harahap sebagai keturunan Halak Arab, maka komunitas ini telah terlebih dahulu menganut Islam sebelum munculnya komunitas Muslim di kalangan Tamil atau Cholia/Angkola. Mereka membawa serta ajaran Islam ke bumi Sumatera bahkan sebelum banyak kerajaan di Asia Selatan memeluknya.

‎Dengan demikian, versi yang mengaitkan Harahap dengan Halak Arab bukan hanya menawarkan perspektif etnis, tetapi juga membawa narasi kronologis yang lebih tua tentang keislaman. Hal ini memberikan makna baru dalam memahami dinamika Islamisasi awal di Nusantara, yang kerap hanya diasosiasikan dengan pedagang Gujarat dan Wali Songo.

‎Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian leluhur marga Harahap—bila versi Halak Arab diterima—telah menganut Islam sebelum era kekuasaan Chola dan sebelum munculnya konversi besar-besaran di India Selatan. Dalam konteks ini, Islam di Sumatera muncul bukan sebagai hasil penaklukan, tapi sebagai bagian dari jaringan dagang dan migrasi spiritual yang melintasi benua.

‎Narasi ini menjadi penting untuk meninjau ulang sejarah lokal yang sering kali terpinggirkan oleh narasi-narasi besar dari luar. Dalam konteks sejarah global Islam, peran komunitas Arab di pesisir Sumatera menunjukkan bahwa Islam datang lebih awal, lebih dalam, dan lebih organik daripada yang sering dibayangkan.

‎Jika demikian, maka marga Harahap, berdasarkan versi keturunan Halak Arab, memiliki sejarah keislaman yang lebih tua daripada komunitas Angkola atau Cholia India Selatan. Sejarah ini bukan hanya soal garis keturunan, tetapi juga soal kedalaman jejak Islam di Nusantara sejak masa paling awal penyebarannya.

‎Baca selanjutnya:

‎1. Sejarah India

‎https://www.facebook.com/share/p/14F3B7TyD2u/
‎ https://www.facebook.com/share/p/19SD5qbjrn/
‎ https://www.facebook.com/share/p/1RbYx4E1wx/

‎2. Pelayaran Arab ke Nusantara

‎https://www.facebook.com/share/p/1EnwgnNg1V/

‎3. Prasasti Chola

‎https://www.facebook.com/share/p/1AaNysnKGr/
‎ https://www.facebook.com/share/p/1AWEkZB71o/

‎4. Versi Harahap (Halak Arab)

‎https://www.asahansatu.co.id/disebut-bayo-angin-ternyata-seperti-ini-sejarah-marga-harahap/

‎https://www.facebook.com/share/p/19CceRb3do/

‎https://www.facebook.com/share/p/16uEKmrQrB/

‎5. Sejarah Batak

‎https://www.facebook.com/share/p/1Eo8qmZDyh/

Baca selanjutnya

Pemimpin Druze Kecam Pembantaian Arab Badui yang Memicu Konflik Baru di Suriah

Minggu, Juli 20, 2025

Terjadi bentrokan sengit di kota As-Suwayda, Suriah, pada 20 Juli 2025. Video yang beredar luas menunjukkan pemandangan yang memilukan: jalanan hancur, bangunan terbakar, dan kepulan asap membumbung tinggi dari sisa-sisa kehancuran. 

Perekam video menggambarkan situasi tersebut sebagai "tragis," menegaskan bahwa kota itu luluh lantak dengan rumah-rumah yang hangus dan bahkan jasad-jasad yang tergeletak di jalanan, di antara bangkai-bangkai mobil.

Kerusakan parah ini dikaitkan dengan konflik antara Druze dan Arab Badui di provinsi As-Suwayda. Kelompok-kelompok ini, menurut perekam video, telah berada di wilayah tersebut kurang dari tiga hari, namun dampaknya begitu besar dan merusak. Mereka datang dengan dalih menyelesaikan konflik yang telah lama berkecamuk antara komunitas Druze dan Badui, tetapi yang terjadi justru adalah bencana kemanusiaan.

Di tengah situasi kacau ini, suara Syekh Aql, pemimpin spiritual komunitas Druze Muwahhidin di Lebanon, muncul sebagai seruan moral. Beliau dengan tegas mengutuk serangan brutal terhadap saudara-saudara Sunni, baik dari kalangan Badui maupun kelompok lainnya, menyatakan bahwa tindakan kekerasan semacam itu sama sekali tidak dapat dibenarkan. 

Sebelumnya kelompok milisi Al Hajri berkoordinasi dengan intelijen Israel melakukan serangkaian cipta kondisi merampok dan menculik warga Arab Badui untuk memancing balasan.

Saat Arab Badui melakukan pembalasan, milisi Al Hajri meneruskan serangkaian pembantaian ke perkampungan Badui yang memicu kemarahan para kabilah Arab. Insiden yang diduga direkayasa oleh agen-agen Mossad itu telah menimbulkan korban jiwa dan saling curiga antar komunitas.

Meski terlambat, kecaman ini datang meskipun beliau memahami bahwa serangan tersebut mungkin merupakan reaksi dari beberapa pejuang yang menyaksikan kekejaman terhadap keluarga mereka setelah mundurnya pasukan keamanan, akibat pemboman oleh Israel.

Syekh Aql menyerukan diakhirinya konflik dengan semangat ksatriaan, kebanggaan, dan ketahanan nasional yang tinggi. Ini adalah panggilan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan prinsip hidup berdampingan yang damai, yang telah lama menjadi pilar masyarakat di wilayah tersebut. 

Beliau berharap agar lembaran kelam ini dapat ditutup dan digantikan dengan upaya-upaya konstruktif menuju perdamaian abadi.

Lebih lanjut, Syekh Aql juga menyoroti bahaya seruan mobilisasi umum yang keras, terutama yang bersifat kesukuan dari berbagai wilayah Suriah. Seruan-seruan yang menyerukan serangan terhadap Sweida atau wilayah lain, menurut beliau, hanya akan memicu perang sektarian yang lebih luas dan menciptakan ketidakpastian yang mendalam di seluruh kawasan. Ini adalah peringatan akan potensi eskalasi yang lebih besar jika pihak-pihak tidak menahan diri.

Secara tegas, Syekh Aql mengutuk keterlibatan Israel. Beliau memandang 'permintaan perlindungan' dari milisi Al Hajri semacam itu sebagai upaya yang akan merusak sejarah dan identitas komunitas mereka. Baginya, setiap intervensi militer yang mengatasnamakan pembelaan Druze Muwahhidin oleh Israel justru akan mencoreng perjuangan dan keberadaan mereka.

Penting bagi Syekh Aql untuk memperkuat hubungan persaudaraan dengan otoritas Sunni di Lebanon. Beliau menekankan perlunya pertemuan-pertemuan strategis untuk menegaskan kembali ikatan sejarah yang kuat antara kedua komunitas ini, sekaligus menolak penyebaran fitnah dan kebencian yang dapat merusak kerukunan di jalanan Lebanon. Ini adalah upaya nyata untuk merajut kembali persatuan yang mungkin telah terkoyak oleh konflik.

Beliau juga menegaskan bahwa Druze Muwahhidin dan Sunni adalah saudara, dan tidak akan menerima ekstremisme dari pihak manapun. Pernyataan ini merupakan penegasan penting terhadap prinsip moderasi dan penolakan terhadap ideologi-ideologi yang memecah belah, baik yang datang dari dalam maupun luar komunitas mereka. Ini adalah pesan perdamaian dan toleransi di tengah badai konflik.

Situasi di As-Suwayda menggambarkan betapa rapuhnya perdamaian di Suriah. Kerusakan fisik yang parah hanyalah manifestasi dari perpecahan dan penderitaan yang lebih dalam yang dialami oleh penduduk sipil. Mereka terjebak di antara berbagai kepentingan kelompok bersenjata yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh, dengan dalih-dalih yang seringkali justru memperburuk keadaan.

Melihat kehancuran ini, sulit membayangkan bagaimana masyarakat di As-Suwayda akan bangkit kembali. Infrastruktur yang hancur, hilangnya nyawa, dan trauma psikologis yang mendalam akan menjadi tantangan besar dalam upaya rekonstruksi dan pemulihan.

Bantuan kemanusiaan dan upaya perdamaian yang serius sangat dibutuhkan untuk meringankan beban mereka. Milisi Al Hajri pro Israel telah merusak reputasi orang Druze secara keseluruhan di Suriah.

Pernyataan Syekh Aql memberikan harapan di tengah keputusasaan. Suara dari seorang pemimpin agama yang menyerukan toleransi dan menolak kekerasan adalah mercusuar bagi mereka yang mendambakan perdamaian. 

Ini menunjukkan bahwa meskipun konflik seringkali berakar pada perbedaan, masih ada ruang bagi dialog dan rekonsiliasi.

Konflik antara Druze dan Badui yang disebut-sebut sebagai pemicu awal, sebenarnya adalah bagian dari narasi yang lebih besar tentang ketidakstabilan di Suriah dan upaya neo kolonialisme Greater Israel yang memicu kekacauan di beberapa negara Arab tetangga Israel.

Berbagai faksi bersenjata kerap memanfaatkan ketegangan komunal untuk memajukan agenda mereka sendiri, yang pada akhirnya hanya membawa kehancuran bagi semua pihak yang terlibat.

Kecaman terhadap "geng-geng pro Israel" juga mengindikasikan adanya kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di luar kendali pemerintah atau bahkan dari faksi-faksi yang lebih besar. Kehadiran mereka seringkali memperparah situasi dan menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus, terutama ketika mereka berdalih datang untuk menyelesaikan konflik, namun justru memperkeruh suasana.

Penolakan Syekh Aql terhadap campur tangan Israel juga sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada simpati internasional, komunitas Druze ingin menentukan nasib mereka sendiri tanpa menjadi alat dalam perebutan pengaruh regional. Mereka memahami bahwa bantuan dari pihak luar, jika tidak hati-hati, dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan dan merusak kedaulatan mereka.

Seruan untuk memperkuat hubungan dengan otoritas Sunni di Lebanon adalah langkah strategis untuk mencegah konflik sektarian meluas ke negara tetangga.

Lebanon sendiri memiliki sejarah kompleks dengan ketegangan sektarian, dan penting bagi para pemimpin agama untuk bekerja sama guna memastikan bahwa api konflik di Suriah tidak menjalar.

Pesan bahwa Druze Muwahhidin dan Sunni adalah saudara adalah fundamental. Ini adalah pengingat bahwa di balik perbedaan-perbedaan, ada ikatan persaudaraan dan kemanusiaan yang lebih besar. Menolak ekstremisme dari pihak manapun adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Masa depan As-Suwayda dan wilayah sekitarnya masih diselimuti ketidakpastian. Namun, dengan adanya suara-suara seperti Syekh Aql yang menyerukan perdamaian dan menolak kekerasan, ada secercah harapan bahwa masyarakat dapat menemukan jalan keluar dari lingkaran setan konflik ini. Ini adalah perjuangan yang panjang, namun dengan tekad kuat untuk rekonsiliasi, perdamaian mungkin masih dapat dicapai.

Warga sipil adalah korban utama dalam setiap konflik bersenjata. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan orang-orang yang dicintai. Prioritas utama harus selalu pada perlindungan warga sipil dan penyediaan bantuan kemanusiaan yang mendesak, sambil secara bersamaan mencari solusi politik yang berkelanjutan untuk mengakhiri kekerasan.

Dunia internasional memiliki peran penting dalam mendukung upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Suriah. Ini mencakup pemberian bantuan kemanusiaan, mediasi antara pihak-pihak yang bertikai, dan menekan semua pihak untuk mematuhi hukum humaniter internasional. Tanpa upaya kolektif, penderitaan di As-Suwayda dan wilayah lain akan terus berlanjut.

Misteri Asal Kata Timur dan Sejarah

Senin, Juli 07, 2025
Selama ini, kata "Timur" akrab di telinga kita sebagai penunjuk arah mata angin. Namun, tahukah Anda bahwa asal-usul kata ini dalam khazanah Melayu memiliki kaitan erat dengan jejak peradaban Persia dan seorang tokoh penakluk legendaris? Sejarah dan hikayat lama mengungkap sebuah narasi menarik yang menghubungkan penamaan geografis ini dengan kebiasaan Persia yang merujuk wilayah timur mereka sebagai "bilad timur," merujuk pada nama Timur Lenk.

Dunia Melayu, melalui karya sastra klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu, diduga kuat mengadopsi konsep ini. Yang awalnya adalah sebutan untuk wilayah yang terkait dengan sang penakluk, perlahan berubah menjadi nama arah dan kemudian menjelma menjadi penamaan tempat seperti Pulau Timor. Sebuah adopsi linguistik yang menunjukkan kuatnya interaksi budaya antara peradaban Melayu dan Persia di masa lampau.

Kendati demikian, catatan-catatan Persia klasik ternyata jarang sekali menyebut "al-Timūr" secara spesifik untuk merujuk ke wilayah Nusantara. Sejarawan dan filolog menyoroti bahwa istilah "al-Timūr" (التيمور) untuk Nusantara memang hampir tidak ditemukan dalam teks-teks Persia kuno. Ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana kemudian konsep tersebut bisa terserap dan bertransformasi dalam konteks Melayu.

Buku-buku Arab-Persia abad pertengahan lebih lazim menggunakan istilah lain untuk wilayah timur jauh, termasuk Nusantara. Misalnya, mereka kerap menyebut Bilād al-Masyriq (بلاد المشرق) yang berarti "Negeri-negeri Timur" atau secara langsung merujuk pada Bilād al-Jāwah (بلاد الجاوة) sebagai "Negeri Jawa" atau Nusantara. Bahkan, seringkali mereka langsung menyebut nama pelabuhan-pelabuhan penting seperti Samudra (Pasai), Malaka, atau Kalāh (Kedah).

Namun, tidak berarti tidak ada catatan Persia-Islam penting yang membahas kawasan timur ini. Kitāb ‘Ajā’ib al-Hind karya Buzurg ibn Shahriyar dari abad ke-10 M, sebuah catatan pelayaran Persia, menyebut kawasan pelabuhan timur jauh, termasuk Nusantara, sebagai bagian dari negeri timur (masyriq). Namun, ia tidak secara spesifik menggunakan istilah "timūr" untuk wilayah tersebut.

Demikian pula, Nuhbat al-Dahr fī ‘Ajā’ib al-Barr wa al-Baḥr karya al-Dimashqi pada abad ke-14 M, menyebutkan kawasan Jāwah dan negeri-negeri timur hingga Samudra (Pasai), tetapi tetap konsisten menggunakan istilah "masyriq," bukan "timūr." Ini menunjukkan pola penggunaan terminologi yang serupa di berbagai teks geografis dan historis.

Karya lain, Masālik al-Abṣār fī Mamālik al-Amṣār oleh al-‘Umari (wafat 1349 M), juga menyebut kawasan Samudra Pasai dan Malaka sebagai negeri-negeri yang berada di bilād al-masyriq al-aqṣā (negeri timur jauh). Penekanan pada "masyriq" sebagai penunjuk arah timur tampaknya menjadi standar dalam literatur Arab dan Persia saat itu.

Lalu, bagaimana dengan "Timūr" itu sendiri? Dalam buku sejarah seperti Tārīkh-i Rūzīdah yang membahas dinasti Timuriyah pada abad ke-15 M, kata "Timūr" secara tegas digunakan untuk merujuk kepada Timur Lenk, sang penakluk besar, dan bukan sebagai nama wilayah. Meskipun konsep "bilād al-timūr" kadang muncul dalam teks Persia untuk menunjuk wilayah Asia Timur (termasuk Transoxiana dan Turkestan), belum ada catatan Persia yang secara eksplisit menyebut Nusantara sebagai "al-Timūr."

Kesimpulannya, studi mendalam terhadap sumber-sumber klasik Persia menunjukkan bahwa tidak ada catatan yang secara spesifik menamai Nusantara sebagai "al-Timūr." Sumber-sumber Persia-Arab lebih memilih untuk menggunakan istilah seperti Bilād al-Masyriq (negeri-negeri timur), Bilād al-Jāwah, atau langsung menyebut nama pelabuhan strategis seperti Samudra dan Malaka. Kata "Timūr" dalam konteks tekstual Persia selalu merujuk pada Timur Lenk atau wilayah geografis di Asia Tengah.

Fenomena ini menggarisbawahi kompleksitas penyerapan dan adaptasi linguistik dalam sejarah. Meskipun secara langsung istilah "al-Timūr" tidak merujuk Nusantara dalam teks Persia, kemungkinan besar adaptasi konsep "timur" yang terkait dengan Timur Lenk, atau sekadar arah "masyriq," menjadi inspirasi bagi penamaan dalam dunia Melayu. Ini adalah bukti nyata bagaimana pergerakan ide dan istilah melampaui batasan geografis dan linguistik, membentuk identitas penamaan yang kita kenal hingga hari ini.

Asal Kata "Sejarah": Dari Pohon Keluarga hingga Narasi Masa Lalu

Kata "sejarah" yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu berasal dari bahasa Arab: شجرة (syajaratun). Secara harfiah, "syajaratun" memang berarti "pohon". Pada pandangan pertama, hubungan antara "pohon" dan "masa lalu" mungkin terasa tidak nyambung. Namun, ada penjelasan filosofis dan historis yang kuat di baliknya.

Dalam konteks awal penggunaannya, "syajaratun" yang diserap ke dalam bahasa Melayu mengacu pada pohon silsilah atau pohon keturunan. Ini merujuk pada catatan asal-usul, nenek moyang, dan garis keturunan suatu keluarga, suku, atau bahkan raja-raja. Seperti pohon yang memiliki akar, batang, cabang, ranting, dan daun yang terus tumbuh dan berkembang, silsilah menggambarkan bagaimana suatu garis keturunan bermula dan bercabang seiring waktu.

Dari makna "pohon silsilah" inilah kemudian berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, yaitu catatan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, termasuk asal-usul suatu bangsa, kerajaan, atau peradaban. Konsep pohon sebagai simbol pertumbuhan, perkembangan, dan hubungan antar generasi menjadi analogi yang kuat untuk memahami urutan waktu dan peristiwa dalam kehidupan manusia.

"History" dalam Bahasa Arab: Tarikh dan Istilah Lainnya

Menariknya, dalam bahasa Arab sendiri, konsep "history" atau sejarah tidak diwakili oleh kata "syajaratun". Sebagaimana yang Anda sebutkan, istilah yang paling umum digunakan adalah تاريخ (tarikh).

Kata "tarikh" ini memiliki akar kata yang berkaitan dengan waktu, penentuan waktu, atau penanggalan. Jadi, "ilmu tarikh" secara harfiah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa berdasarkan kronologi waktu. Ini sangat relevan dengan disiplin sejarah modern yang sangat menekankan pada urutan waktu dan periodisasi.

Selain "tarikh", ada juga istilah lain dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan narasi masa lalu, seperti:

 * سيرة (sirah): Biasanya merujuk pada biografi atau riwayat hidup seseorang, terutama Nabi Muhammad SAW (Sirah Nabawiyah). Kata ini menekankan pada cara hidup, perilaku, dan perjalanan seseorang.

 * أخبار (akhbar): Berarti "berita" atau "laporan". Dalam konteks yang lebih luas, bisa merujuk pada catatan peristiwa.
Hubungan dengan Persia: Jalur Penyerapan Kosakata dan Konsep
Hubungan antara bahasa Arab, Persia, dan Melayu dalam konteks kosakata adalah hal yang sangat menarik dan kaya.

 * Pengaruh Persia pada Bahasa Arab: Meskipun bahasa Arab adalah bahasa Semit dan Persia (Farsi) adalah bahasa Indo-Eropa, ada interaksi linguistik yang signifikan antara keduanya, terutama setelah penaklukan Persia oleh Muslim pada abad ke-7. Banyak kosakata Persia yang diserap ke dalam bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan administrasi, budaya istana, dan beberapa aspek kehidupan sosial. Sebaliknya, bahasa Persia mengadopsi abjad Arab dan banyak kosakata Arab, terutama yang berkaitan dengan agama dan ilmu pengetahuan Islam.

 * Penyerapan "Syajaratun" ke Melayu: Mengapa bahasa Melayu mengadopsi "syajaratun" untuk "sejarah" alih-alih "tarikh"?

   * Konsep Silsilah yang Kuat: Kemungkinan besar, pada saat awal interaksi dan penyerapan kosakata, konsep "pohon silsilah" (genealogi) adalah aspek yang sangat menonjol dan relevan dalam masyarakat Melayu untuk mencatat dan memahami masa lalu. Struktur masyarakat yang berbasis pada keturunan raja-raja dan bangsawan menjadikan "syajaratun" sebagai metafora yang pas.

   * Jalur Transmisi Pengetahuan: Pedagang, ulama, dan pengembara dari Jazirah Arab dan Persia memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan bahasa. Mungkin saja dalam transmisi awal, penekanan pada aspek silsilah lebih dominan dalam narasi sejarah yang dibawa dan dipahami oleh masyarakat Melayu.

   * Pengaruh Persia dalam Jalur Islamisasi: Teori masuknya Islam ke Nusantara melalui Persia (selain Arab dan Gujarat) juga memberikan dasar yang kuat bagi penyerapan kosakata. Bahasa Persia sendiri memiliki banyak serapan dari bahasa Arab. Adakalanya, kata-kata Arab yang masuk ke Melayu mungkin sudah melalui "filter" atau interpretasi dalam budaya Persia terlebih dahulu, atau memang ada penekanan tertentu pada makna tertentu dalam tradisi keilmuan Persia yang kemudian sampai ke Nusantara.

   * Perbedaan Fokus Awal: Mungkin pada masa awal, "tarikh" lebih merujuk pada penanggalan atau kronik peristiwa, sementara "syajaratun" lebih merujuk pada narasi yang lebih luas tentang asal-usul dan perkembangan suatu entitas (mirip dengan "history" dalam pengertian modern yang lebih luas dari sekadar tanggal).

Jadi, bisa disimpulkan bahwa asal kata "sejarah" memang dari bahasa Arab "syajaratun" yang berarti pohon, terutama dalam konteks silsilah. Sementara "history" dalam bahasa Arab adalah "tarikh", yang berfokus pada kronologi waktu. Penyerapan "syajaratun" ke dalam bahasa Melayu sebagai "sejarah" mencerminkan fokus awal pada silsilah dan narasi asal-usul. Meskipun bukan secara langsung dari Persia, interaksi budaya dan linguistik yang kompleks di jalur perdagangan dan penyebaran Islam (yang melibatkan Arab, Persia, dan India) kemungkinan besar memengaruhi bagaimana kosakata-kosakata ini diserap dan dimaknai di dunia Melayu.



Sejarah Pertarungan Geopolitik Suriah dan AS di Timur Tengah

Selasa, Juli 01, 2025

Sejak awal dekade 1990-an, dinamika hubungan antara Suriah dan Amerika Serikat memainkan peran penting dalam lanskap politik Timur Tengah. Pada saat Perang Teluk pertama meletus tahun 1990-1991, Suriah di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad mengambil langkah mengejutkan dengan bergabung ke dalam koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat untuk melawan Irak di bawah Saddam Hussein. Keputusan itu dilatarbelakangi oleh rivalitas lama antara Damaskus dan Baghdad yang sama-sama dipimpin rezim Ba'athis, namun bersaing keras dalam pengaruh kawasan.

Partisipasi Suriah dalam Perang Teluk I bukan sekadar soal geopolitik Irak-Kuwait. Bagi Damaskus, ini merupakan kesempatan strategis untuk mendekat ke Amerika Serikat, meredakan tekanan internasional atas kehadiran militernya di Lebanon, sekaligus memperkuat posisi domestiknya. Sebagai imbalan atas keikutsertaannya, Washington memberikan lampu hijau atas operasi militer Suriah di Lebanon untuk menumpas kubu perlawanan yang tersisa, khususnya kelompok yang dipimpin oleh Jenderal Michel Aoun.

Pada 13 Oktober 1990, Suriah melancarkan operasi besar ke wilayah pendudukan Aoun di sekitar Istana Baabda, Beirut. Ini menjadi pertama kalinya sejak pengepungan Zahle tahun 1981 Suriah mengerahkan angkatan udaranya di Lebanon. Dengan dukungan tentara Lebanon loyalis Émile Lahoud, mereka berhasil menumpas kekuatan Aoun yang selama ini menjadi penghalang utama dominasi penuh Suriah di Lebanon.
Operasi militer itu tidak mungkin berjalan tanpa kesepakatan terselubung antara Damaskus dan Washington. Sejarawan William Harris menyebutkan bahwa Suriah baru berani mengerahkan kekuatan penuhnya setelah Amerika memastikan bahwa Israel tidak akan menyerang pesawat tempur Suriah yang beroperasi di wilayah udara Beirut. Hal ini memperlihatkan betapa dalamnya transaksi politik antara dua negara yang di luar tampak berseteru, namun di balik layar bisa bekerja sama demi kepentingan masing-masing.

Michel Aoun yang saat itu menjadi simbol perlawanan anti-penjajahan Suriah di Lebanon akhirnya melarikan diri ke Kedutaan Besar Prancis di Beirut sebelum diasingkan ke Paris. Kekalahan ini menandai berakhirnya Perang Saudara Lebanon yang berlangsung sejak 1975 dan memantapkan cengkeraman militer-politik Suriah atas Lebanon yang bertahan hingga awal 2000-an.

Namun, hubungan hangat antara Damaskus dan Washington itu tak berlangsung lama. Memasuki dekade 1990-an akhir, ketegangan mulai meningkat seiring perbedaan pandangan dalam sejumlah isu regional. Di antaranya soal proses perdamaian Israel-Palestina, pengaruh Suriah di Lebanon, dan hubungan Damaskus dengan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas yang dianggap AS sebagai organisasi teroris.
Puncak keretakan terjadi pasca Perang Teluk II pada 2003, ketika Amerika Serikat di bawah George W. Bush menggulingkan Saddam Hussein di Irak. Suriah yang sejak awal menentang invasi itu dituding membantu kelompok-kelompok perlawanan Irak melawan pasukan koalisi, sekaligus dituduh menjadi pintu masuk bagi pejuang asing yang ingin bertempur di Irak.

Di saat yang sama, Amerika mulai menekan Suriah agar menarik pasukannya dari Lebanon. Desakan ini diperkuat oleh tewasnya mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dalam sebuah ledakan bom di Beirut pada 2005, yang dituding kuat melibatkan intelijen Suriah. Gelombang protes di Lebanon dan tekanan internasional akhirnya memaksa Suriah menarik mundur seluruh pasukannya dari Lebanon setelah 29 tahun bercokol di negeri itu.

Momen pembunuhan Hariri menjadi garis demarkasi penting yang secara resmi mengakhiri era kedekatan Suriah dan Amerika. Damaskus kembali diposisikan Washington sebagai bagian dari apa yang mereka sebut "poros kejahatan" bersama Iran dan Korea Utara, terutama karena hubungan eratnya dengan Hizbullah dan Hamas yang dianggap ancaman bagi sekutu Amerika di kawasan.

Meski demikian, di awal 2000-an sebenarnya hubungan keduanya sempat coba dipulihkan. Beberapa utusan khusus Amerika dikirim ke Damaskus untuk membicarakan isu Irak, Lebanon, dan Palestina. Namun, perbedaan sikap soal perlawanan bersenjata dan dominasi Suriah atas politik Lebanon menjadi batu sandungan utama yang sulit disepakati.

Perang Sipil Suriah yang pecah sejak 2011 makin memperlebar jurang antara kedua negara. Amerika mendukung kelompok-kelompok oposisi bersenjata yang ingin menggulingkan rezim Bashar al-Assad, sementara Damaskus tetap bertahan dengan dukungan Rusia, Iran, dan Hizbullah. Situasi ini membuat posisi Suriah di kawasan makin terisolasi dari poros pro-Amerika.

Suriah sempat kehilangan banyak sekutu tradisionalnya di dunia Arab, terutama setelah Liga Arab membekukan keanggotaannya. Namun, perlahan Damaskus kembali mendapat simpati dari sebagian negara Arab dalam beberapa tahun terakhir, meskipun hubungan dengan Amerika tetap beku.

Belakangan, posisi Suriah dalam geopolitik Timur Tengah sepenuhnya bertumpu pada aliansi dengan Rusia dan Iran, hingga tumbangnya rejim Bashar Al Assad. Kedekatan itu membuat Suriah sulit kembali menjalin hubungan konstruktif dengan Amerika Serikat, kecuali terjadi perubahan besar dalam dinamika politik regional.

Kisah hubungan Suriah-Amerika ini menunjukkan bagaimana rivalitas, pragmatisme, dan kepentingan sesaat bisa menggeser garis pertemanan atau permusuhan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Apa yang dulu dibangun dalam satu dekade bisa runtuh dalam hitungan hari, seperti yang terjadi setelah invasi Irak dan pembunuhan Hariri.

Lebanon sendiri menjadi medan pertarungan tak langsung antara dua negara itu. Selama hampir dua dekade, Suriah memainkan peran dominan dalam menentukan siapa yang memimpin Lebanon, dengan persetujuan atau keberatan diam-diam dari Washington. Tapi pasca 2005, pengaruh itu perlahan terkikis seiring dinamika baru di Beirut yang lebih terbuka ke Barat.

Hingga hari ini, jejak-jejak intervensi Suriah di Lebanon masih membekas dalam politik dan masyarakatnya. Nama Aoun yang dulu diasingkan kini justru sempat menjabat Presiden Lebanon pasca kembalinya dari pengasingan. Sementara Amerika terus memainkan perannya melalui bantuan militer dan diplomasi untuk membendung pengaruh Iran dan Suriah.

Sejarah relasi Suriah dan Amerika adalah potret klasik Timur Tengah: penuh kalkulasi, pengkhianatan, dan aliansi yang bisa berganti arah sesuai kebutuhan. Peristiwa 13 Oktober 1990 menjadi salah satu titik penting di mana kesepakatan diam-diam kedua negara mengorbankan Lebanon demi ambisi geopolitik masing-masing.

IDF dan Konflik di India Timur

Rabu, Juni 25, 2025

Ketegangan etnis di Manipur, India Timur Laut, belakangan kian rumit dengan isu keterlibatan sebagian warga etnis Kuki dalam Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Komunitas Bnei Menashe, keturunan Kuki yang mengaku sebagai Yahudi, telah sejak awal 2000-an melakukan migrasi ke Israel. Sebagian dari mereka kemudian menjalani wajib militer di IDF, memperoleh pelatihan tempur modern, dan pengalaman menghadapi konflik bersenjata.

Fenomena ini mulai berdampak di kampung halaman mereka di Manipur. Saat konflik bersenjata antar etnis kembali pecah sejak 2023, keterampilan militer yang diperoleh di Israel diduga digunakan oleh sebagian warga Kuki dalam bentrokan melawan komunitas Meitei. Media sosial ramai memperbincangkan keberadaan milisi Kuki yang bersenjata modern dan memiliki formasi tempur yang disiplin.

Bnei Menashe terdiri dari kelompok Mizo, Kuki, dan Chin, yang semuanya menggunakan bahasa-bahasa rumpun Tibeto-Burma, dan leluhur mereka bermigrasi ke wilayah timur laut India dari Burma (sekarang Myanmar) terutama pada abad ke-17 dan ke-18. Di Burma, mereka dikenal sebagai Chin. Pada akhir abad ke-20, seorang rabi Israel yang meneliti klaim mereka menamai mereka Bnei Menashe, berdasarkan kisah mereka tentang asal-usul dari suku Menasseh. Dari sekitar 3,7 juta penduduk di dua negara bagian timur laut ini, hanya sekitar 9.000 orang yang tergolong Bnei Menashe, dan beberapa ribu di antaranya telah berimigrasi ke Israel. Sebagian di antara mereka juga mendukung gerakan-gerakan separatis dari India.

Karena kedekatan wilayah dengan daerah mayoritas Muslim Bengal, komunitas Kuki Muslim pun berkembang. Mereka disebut sebagai keturunan laki-laki Kuki yang menikahi perempuan Muslim Bengali, sebuah pernikahan yang mengharuskan sang suami untuk masuk Islam. Komunitas ini sebagian besar bermukim di desa North Chandrapur di kota Udaipur, Tripura. Tokoh-tokoh Kuki Muslim yang dikenal di antaranya adalah Khirod Ali Sardar dari Chandrapur dan Ali Mia dari Sonamura. Komunitas ini kerap menjadi sasaran cemoohan dari kelompok Kuki lainnya.

Dalam berbagai dokumentasi lapangan, terlihat kelompok bersenjata Kuki mengenakan peralatan militer standar, senjata api otomatis, dan melakukan patroli dengan taktik yang menyerupai operasi militer kecil. Hal ini menciptakan dominasi budaya kemiliteran di lingkungan masyarakat Kuki di Manipur, yang sebelumnya dikenal sebagai komunitas agraris pegunungan.

Pengamat keamanan regional mulai menyoroti bagaimana pelatihan di IDF turut membentuk pola pikir, kedisiplinan, dan keahlian militer yang kini diterapkan dalam konflik lokal. Dalam situasi Manipur yang rawan dan berbatasan langsung dengan Myanmar — salah satu jalur penyelundupan senjata — kemampuan tempur ini menjadi modal penting bagi kelompok bersenjata Kuki.

Di sisi lain, dominasi kemiliteran ini memperbesar ketimpangan kekuatan antar komunitas etnis di Manipur. Kelompok Meitei yang menjadi mayoritas di dataran rendah merasa terancam, sementara komunitas Thadou dan etnis pegunungan lainnya mengkhawatirkan kemungkinan eskalasi konflik yang lebih luas akibat adanya kelompok Kuki bersenjata terlatih.

Meitei Alliance dan Thadou Inpi Manipur secara terbuka menyatakan keprihatinan mereka atas fenomena ini. Mereka meminta pemerintah pusat India untuk memantau aktivitas milisi bersenjata di perbukitan Manipur serta menyelidiki kemungkinan adanya jaringan pelatihan militer ilegal di kawasan tersebut.

Situasi ini juga menimbulkan polemik politik karena status 'Any Kuki Tribes' dalam daftar Scheduled Tribes (ST) dianggap memberi keleluasaan berlebih bagi kelompok tertentu untuk memanfaatkan kekuatan bersenjata demi kepentingan politik. Keterampilan militer yang dikuasai sebagian warga Kuki juga dimanfaatkan dalam perebutan wilayah dan sumber daya lokal.

Dominasi budaya kemiliteran di komunitas Kuki memengaruhi kehidupan sosial di wilayah perbukitan Manipur. Anak-anak muda mulai mengidolakan figur-figur bersenjata, dan masyarakat cenderung mengandalkan kekuatan fisik untuk menyelesaikan perselisihan. Kondisi ini makin memperburuk ketegangan antar etnis di daerah yang selama ini minim kehadiran negara.

Beberapa pengamat menyebut bahwa situasi di Manipur mencerminkan bagaimana konflik lokal bisa bertransformasi menjadi perang milisi berbasis identitas jika ada faktor pelatihan militer eksternal. Hal ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas India Timur Laut yang selama ini dihantui isu separatisme dan perbatasan terbuka dengan Myanmar.

Dalam jangka panjang, dominasi pengetahuan militer di masyarakat Kuki diprediksi memperkuat posisi tawar politik mereka. Keterampilan tempur, pengalaman perang, dan akses ke jaringan diaspora Bnei Menashe di luar negeri memberi keuntungan strategis dalam negosiasi lokal maupun nasional.

Di beberapa desa Kuki, bahkan mulai terbentuk kelompok-kelompok paramiliter lokal yang mengadopsi metode pelatihan IDF, mulai dari patroli malam, penggunaan taktik gerilya modern, hingga perakitan senjata rakitan berbasis komponen impor gelap dari Myanmar. Fenomena ini tak lagi sebatas isu bentrokan etnis, tapi berpotensi menjelma menjadi milisi terorganisir.

Pemerintah India pun menghadapi dilema besar. Tindakan tegas bisa memicu perlawanan lebih luas, namun membiarkan dominasi kemiliteran ini berkembang berarti mengancam stabilitas kawasan. Hingga kini, New Delhi belum mengambil langkah konkret, meski laporan intelijen soal pengaruh diaspora militer Kuki semakin kuat.

Ketegangan antar etnis Meitei-Kuki pun makin sulit diredakan karena perbedaan kekuatan di lapangan. Komunitas Meitei menuduh bahwa sebagian senjata dan taktik tempur Kuki berasal dari eks anggota IDF, meski hingga kini klaim itu belum diverifikasi secara resmi. Namun, bukti di media sosial memperlihatkan eksistensi milisi Kuki dengan senjata modern.

Di sisi lain, para pemimpin adat dan agama di Manipur berupaya mendorong dialog damai, tapi dominasi militer di lingkungan Kuki membuat upaya tersebut kerap gagal. Masyarakat lebih memilih solusi bersenjata ketimbang perundingan, terlebih setelah keberhasilan beberapa operasi bersenjata yang membuat posisi mereka di kawasan perbukitan makin kuat.

Situasi ini kian rumit dengan keberadaan kamp pengungsi Meitei yang terus bertambah akibat bentrokan sporadis. Pemerintah daerah kesulitan mengatur distribusi bantuan dan menjaga keamanan karena pertempuran antar komunitas makin brutal. Senjata modern di tangan warga sipil membuat situasi sulit dikendalikan.

Dengan terus berkembangnya pengaruh kemiliteran di komunitas Kuki, kawasan Manipur berpotensi menjadi salah satu zona konflik bersenjata antar etnis paling berbahaya di Asia Selatan. Dominasi ini akan memperpanjang ketegangan identitas, memperbesar kesenjangan kekuatan, dan menjauhkan solusi damai berbasis dialog.

Tanpa langkah cepat untuk membatasi peredaran senjata, memutus jalur pelatihan militer non-negara, serta memperkuat dialog antarkomunitas, Manipur berisiko terjerumus dalam perang milisi berkepanjangan. Situasi ini bisa menjadi preseden buruk bagi kawasan India Timur Laut dan perbatasan India-Myanmar yang selama ini dikenal rentan konflik bersenjata.

Selain Greenland, Ini Beberapa Negara yang Bakal Dicaplok AS dkk dalam Waktu Dekat

Selasa, April 08, 2025

Pernyataan terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menyatakan keinginannya agar Gaza berada di bawah kendali AS, telah memicu kembali diskusi global tentang kebijakan luar negeri Washington di Timur Tengah. 

Gaza, yang selama ini menjadi salah satu pusat ketegangan antara Israel dan Palestina, kini semakin menjadi perhatian besar bagi AS, di tengah spekulasi bahwa negara ini berencana untuk memperluas pengaruhnya di kawasan-kawasan strategis lainnya, termasuk Greenland, Yaman Utara, dan bahkan Suriah Utara, yang saat ini dikuasai oleh kelompok Kurdi SDF (Syrian Democratic Forces).

Pada awal April 2025, Trump mengungkapkan dalam sebuah wawancara bahwa ia memandang Gaza sebagai wilayah yang sangat strategis dan memiliki potensi besar secara geopolitik. Menurutnya, wilayah ini sangat penting bagi stabilitas kawasan Timur Tengah, dan ia melihatnya sebagai bagian dari aset yang bisa diperoleh untuk kepentingan AS. 

Selain itu, Trump juga menegaskan bahwa penguasaan Gaza oleh AS akan mempercepat proses perdamaian di kawasan tersebut dengan membungkam dan mengusir warganya. Namun, hal ini memunculkan kecemasan bagi banyak pihak, terutama Palestina, yang melihatnya sebagai upaya lebih lanjut untuk menggusur mereka dari tanah leluhur mereka, setelah upaya genosida yang berulang dilakukan oleh Israel dan saat ini belum diketahui kapan berakhir.

Keinginan Trump untuk menguasai Gaza bukanlah hal baru. Sejak masa kepresidenan pertamanya, Trump telah beberapa kali mengungkapkan minatnya terhadap wilayah-wilayah yang dianggap strategis di dunia. Dalam konteks ini, Gaza, dengan lokasinya yang berada di persimpangan jalan antara Afrika dan Asia, telah menjadi perhatian utama. Jika pengaruh AS di Gaza diperluas, hal ini bisa saja mengubah dinamika politik di Timur Tengah secara keseluruhan. Sementara itu, kemungkinan AS untuk memperluas kendalinya ke wilayah-wilayah lain, seperti Greenland atau Yaman Utara, juga semakin terbuka.

Greenland, yang merupakan wilayah otonomi Denmark, telah lama menjadi perhatian AS. Sejak 2019, Trump pernah menyampaikan ketertarikannya untuk membeli Greenland, sebuah pulau yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi strategis di Samudra Arktik. Meskipun Denmark menolak tawaran tersebut, Trump terus memperjuangkan pengaruh AS di kawasan tersebut, terutama terkait dengan pengeksploitasian sumber daya alam dan kepentingan geopolitik di wilayah Arktik.

Selain itu, situasi di Yaman Utara, yang dikuasai oleh kelompok Houthi yang didukung Iran, juga menjadi perhatian AS. Ketegangan di Yaman terus meningkat, dengan AS berusaha untuk mengimbangi pengaruh Iran di kawasan tersebut. Trump telah mengungkapkan kekhawatirannya tentang dominasi Iran di Yaman dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di kawasan Teluk. Melalui intervensi militer atau dukungan kepada pihak-pihak tertentu di Yaman, AS berpotensi memperluas keberadaan pasukannya di Laut Merah dengan mencaplok Yaman Utara dengan berbagai dalih.

Di sisi lain, kehadiran AS di Suriah Utara yang berfokus pada kawasan yang dikuasai oleh SDF Kurdi juga semakin menjadi bukti nyata dari strategi AS untuk mengendalikan wilayah yang dianggap penting. Suriah Utara, yang berada di dekat perbatasan Turki, merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki posisi strategis.

Ambisi untuk mengusai Suriah dan beberapa negara lainnya atau sebagian  wilayahnya sudah lama dirancang bahkan sebelum Perang Teluk I sebagai bagian dari imperialisme baru menarget Timur Tengah dan belakangan rencana itu diwujudkan dengan berbagai skenario intelijen proyek 'musim semi Arab' dll dan perang 'melawan teroris' yang sebenarnya adalah hasil karya beberapa lembaga intelijen AS sendiri yang sudah diakui oleh Hillary Clinton dan Trump sendiri.

Namun, kebijakan luar negeri Trump yang cenderung lebih berfokus pada ekspansi pengaruh ini menghadapi tantangan besar. Salah satu tantangan terbesar adalah reaksi internasional yang cenderung negatif terhadap upaya-upaya AS untuk menguasai wilayah-wilayah strategis. Dalam kasus Gaza, misalnya, banyak negara di kawasan Timur Tengah dan organisasi internasional seperti PBB mengutuk tindakan AS yang dianggap akan semakin memperburuk situasi di Palestina dan kawasan sekitarnya. Begitu pula dengan upaya AS di Greenland dan Yaman, yang berisiko menimbulkan ketegangan dengan negara-negara yang memiliki kepentingan di wilayah tersebut.

Meskipun demikian, strategi Trump ini tampaknya masih didorong oleh keyakinan bahwa menguasai wilayah-wilayah strategis dapat memberikan keuntungan ekonomi dan geopolitik bagi AS. Dalam konteks Gaza, penguasaan wilayah ini dapat membuka peluang bagi AS untuk mengendalikan jalur perdagangan yang menghubungkan Timur Tengah dengan Afrika dan Eropa. Begitu pula dengan Greenland, yang dapat menjadi pusat kegiatan eksplorasi sumber daya alam yang semakin penting di era perubahan iklim dan ketegangan geopolitik di Arktik.

Selain itu, pengaruh AS di wilayah-wilayah seperti Yaman dan Suriah Utara dapat mengukuhkan posisi negara ini sebagai kekuatan utama dalam menghadapi persaingan global dengan negara-negara besar lainnya, seperti China dan Rusia. Melalui kehadirannya di kawasan-kawasan tersebut, AS dapat mempengaruhi keputusan-keputusan strategis yang berkaitan dengan keamanan global dan kestabilan ekonomi.

Namun, untuk Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, pengaruh AS di kawasan Timur Tengah dan Arktik tidak hanya merupakan masalah geopolitik, tetapi juga ekonomi. Sebagai negara yang memiliki hubungan dagang yang erat dengan AS, Indonesia harus mempertimbangkan dampak dari kebijakan luar negeri AS yang lebih agresif terhadap kawasan-kawasan tersebut. Ketegangan yang timbul dari penguasaan wilayah strategis oleh AS bisa saja memengaruhi pasar internasional, termasuk harga komoditas yang diimpor oleh AS dari negara-negara Asia.

Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, harus bersiap menghadapi tantangan ini dengan memperkuat kebijakan luar negeri dan diplomasi ekonomi yang lebih proaktif. Salah satunya adalah dengan mempererat hubungan dengan negara-negara besar seperti China dan Rusia, yang bisa menjadi mitra strategis dalam menghadapi dominasi AS di kawasan-kawasan tertentu. Selain itu, Indonesia juga harus memperkuat sektor industri dalam negeri untuk memastikan daya saingnya tetap terjaga meskipun terjadi perubahan besar dalam peta geopolitik global.

Dengan meningkatnya ketegangan dan potensi ekspansi AS di kawasan-kawasan strategis seperti Gaza, Greenland, dan Yaman Utara, Indonesia harus siap menghadapi tantangan yang mungkin timbul. Kebijakan luar negeri yang hati-hati dan strategi ekonomi yang matang akan menjadi kunci untuk memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi kekuatan yang berpengaruh di kawasan Asia Tenggara dan di pasar global.

Dibuat oleh AI

Penemuan Kerangka Unik di Granada: Kisah Seorang Pemimpin Muslim di Tengah Kemegahan dan Tantangan

Minggu, Maret 23, 2025
Di tengah kota Granada yang kaya akan sejarah, sebuah penemuan arkeologis yang luar biasa telah mengungkap kisah menarik tentang seorang tokoh penting dari masa lalu. Dalam penggalian di pemakaman Bab al-Fakhkharin, para ilmuwan menemukan sebuah makam unik yang berisi kerangka seorang individu yang dimakamkan di dalam kolam minyak zaitun Romawi kuno.

Penemuan ini sangat luar biasa karena kerangka tersebut ditemukan sendirian, berbeda dengan makam-makam lain di sekitarnya yang berisi banyak kerangka.

Para ahli menduga bahwa individu ini adalah seorang wali saleh atau pemimpin penting dalam komunitas Muslim setempat pada masa itu.

Makam ini memberikan wawasan berharga tentang praktik pemakaman dan kepercayaan masyarakat Muslim di Granada pada masa lalu. Penggunaan kolam minyak zaitun Romawi sebagai tempat pemakaman menunjukkan adanya perpaduan budaya dan adaptasi terhadap lingkungan sekitar.

Penemuan ini terjadi di tengah upaya restorasi dan pelestarian warisan sejarah Granada. Kota ini, yang pernah menjadi pusat kekuasaan Islam di Spanyol, menyimpan banyak situs bersejarah yang menjadi saksi bisu kejayaan dan tantangan yang dihadapi Kerajaan Islam Granada.

Pada periode ketika individu ini hidup, Kerajaan Islam Granada berada dalam masa-masa terakhirnya. Setelah berabad-abad menjadi pusat peradaban Islam di Andalusia, kerajaan ini menghadapi tekanan dari kerajaan-kerajaan Kristen di utara.

Meskipun demikian, Granada tetap menjadi pusat budaya dan intelektual yang penting. Istana Alhambra yang megah menjadi simbol kemegahan arsitektur Islam, dan kota ini terus menghasilkan karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan yang luar biasa.

Kerajaan Islam Granada juga dikenal karena toleransi dan keragaman budayanya. Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan, menciptakan masyarakat yang kaya dan dinamis.

Namun, di balik kemegahan dan keragaman ini, terdapat tantangan politik dan militer yang semakin besar. Kerajaan-kerajaan Kristen terus berupaya merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah dikuasai umat Islam, dan Granada menjadi benteng terakhir pertahanan Islam di Spanyol.

Pada periode ketika individu yang dimakamkan di kolam minyak zaitun hidup, Kerajaan Islam Granada mungkin sedang mengalami masa-masa sulit. Tekanan dari luar semakin meningkat, dan persatuan internal mungkin terancam oleh persaingan politik dan intrik istana.

Meskipun demikian, penemuan makam ini menunjukkan bahwa masyarakat Muslim di Granada tetap mempertahankan identitas dan kepercayaan mereka. Pemakaman yang unik ini menjadi bukti penghormatan dan penghargaan terhadap seorang tokoh penting dalam komunitas mereka.

Kisah tentang individu yang dimakamkan di kolam minyak zaitun ini memberikan kita gambaran tentang kehidupan dan kepercayaan masyarakat Muslim di Granada pada masa lalu. Ini adalah kisah tentang seorang pemimpin yang dihormati, yang hidup di tengah kemegahan dan tantangan, dan yang warisannya terus hidup melalui penemuan arkeologis yang luar biasa ini.

Penemuan ini juga mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan warisan sejarah kita. Granada adalah kota yang kaya akan sejarah, dan setiap penemuan arkeologis memberikan kita wawasan baru tentang masa lalu kita.

Dengan memahami sejarah kita, kita dapat belajar dari masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik. Kisah tentang individu yang dimakamkan di kolam minyak zaitun ini adalah bagian dari sejarah kita, dan itu adalah kisah yang layak untuk diceritakan dan diingat.

 
Copyright © Berita Tampahan. Designed by OddThemes