Teknologi

Wisata

Nasional

Latest Updates

Palestina Tolak Pengakuan Israel atas Somaliland

Minggu, Desember 28, 2025

Kementerian Luar Negeri dan Urusan Diaspora Palestina secara tegas menyatakan dukungannya terhadap persatuan, kedaulatan, dan keutuhan wilayah Republik Federal Somalia. Sikap ini ditegaskan sebagai bagian dari komitmen Palestina terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan tatanan global yang adil.

Dalam pernyataannya, Palestina menekankan bahwa dukungan tersebut bertujuan menjamin hak rakyat Somalia untuk hidup dalam martabat, keamanan, dan stabilitas politik. Palestina menilai bahwa keutuhan wilayah Somalia merupakan fondasi penting bagi perdamaian di kawasan Tanduk Afrika.

Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan bahwa posisi tersebut sejalan dengan resolusi-resolusi internasional, konsensus negara-negara Arab, serta keputusan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Palestina menegaskan bahwa tidak ada legitimasi internasional bagi langkah-langkah yang mengancam keutuhan Somalia.

Seiring dengan itu, Palestina secara terbuka menolak dan mengutuk pengakuan Israel terhadap wilayah yang disebut “Somaliland”. Menurut Palestina, tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap kedaulatan dan kesatuan wilayah Somalia.

Pengakuan tersebut dinilai berbahaya karena berpotensi melegitimasi gerakan separatis yang tidak diakui secara internasional. Palestina menegaskan bahwa langkah semacam itu hanya akan memperdalam instabilitas politik dan keamanan di Somalia.

Kementerian menambahkan bahwa setiap tindakan yang mendukung pemisahan wilayah, baik secara politik maupun simbolik, merupakan bentuk intervensi yang tidak dapat diterima. Palestina memandang bahwa stabilitas Somalia harus dijaga tanpa campur tangan kekuatan luar.

Palestina juga mengaitkan langkah Israel tersebut dengan pola kebijakan yang lebih luas. Israel, menurut pernyataan itu, kerap bertindak sebagai kekuatan pendudukan kolonial yang melemahkan perdamaian regional dan internasional.

Kementerian menilai bahwa pengakuan terhadap Somaliland tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari strategi Israel untuk menciptakan preseden baru yang bertentangan dengan hukum internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dalam pernyataan itu, Palestina mengingatkan bahwa Israel sebelumnya pernah menyebut “Somaliland” sebagai salah satu tujuan potensial untuk pemindahan paksa rakyat Palestina. Isu tersebut mencuat terutama dalam konteks rencana pengosongan Jalur Gaza.

Palestina menilai wacana pemindahan paksa tersebut sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional. Segala bentuk pemindahan paksa dianggap sebagai kejahatan yang tidak dapat ditoleransi.

Kementerian Luar Negeri Palestina menegaskan penolakan mutlak terhadap seluruh rencana pemindahan paksa rakyat Palestina dengan dalih apa pun. Isu ini disebut sebagai garis merah yang tidak boleh dilanggar.

Palestina juga memperingatkan semua pihak agar tidak terlibat, mendukung, atau membiarkan rencana-rencana tersebut berlangsung. Menurut Palestina, sikap diam atau pembiaran sama berbahayanya dengan keterlibatan langsung.

Dalam konteks Somalia, Palestina menekankan bahwa setiap upaya melemahkan negara-negara berkembang melalui pengakuan sepihak akan menciptakan ketidakstabilan jangka panjang. Hal ini dinilai bertentangan dengan kepentingan perdamaian global.

Palestina menyerukan kepada komunitas internasional untuk mempertahankan prinsip penghormatan terhadap kedaulatan negara. Pengakuan terhadap entitas separatis tanpa konsensus internasional dinilai sebagai ancaman serius terhadap sistem internasional.

Kementerian juga menegaskan solidaritas Palestina dengan rakyat Somalia yang selama puluhan tahun menghadapi konflik dan tantangan pembangunan. Palestina menilai bahwa Somalia berhak menentukan masa depannya sendiri tanpa tekanan eksternal.

Dalam pernyataan tersebut, Palestina menempatkan isu Somalia dan Palestina dalam satu kerangka yang sama, yakni penolakan terhadap kolonialisme, pendudukan, dan pelanggaran kedaulatan negara.

Palestina menegaskan bahwa stabilitas kawasan Afrika Timur dan Timur Tengah saling terkait. Setiap kebijakan yang memicu fragmentasi wilayah akan berdampak luas pada keamanan regional.

Kementerian Luar Negeri Palestina kembali mengingatkan bahwa hukum internasional tidak boleh diterapkan secara selektif. Prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah harus berlaku bagi semua negara tanpa pengecualian.

Di akhir pernyataannya, Palestina menegaskan komitmennya untuk terus membela hak-hak bangsa yang tertindas dan negara-negara yang terancam kedaulatannya. Solidaritas ini disebut sebagai bagian dari perjuangan Palestina di panggung internasional.

Palestina menyatakan akan terus bekerja sama dengan negara-negara Arab, OKI, dan mitra internasional untuk menolak segala upaya yang mengancam persatuan Somalia dan hak rakyat Palestina. Sikap ini ditegaskan sebagai posisi prinsipil yang tidak akan berubah.

Yaman Kini: Negeri Multi Wajah dan Dinamika Kompleks

Sabtu, Desember 27, 2025
Wajah Yaman saat ini memperlihatkan kerumitan politik dan militer yang semakin membingungkan. Negeri yang dahulu dipandang sebagai satu kesatuan kini terbagi menjadi berbagai zona dengan karakter pemerintahan yang berbeda-beda, mencerminkan pergeseran identitas politik dan strategi lokal.

Di utara, wilayah yang dikuasai Houthi semakin menyerupai Korea Utara. Pemerintahan Houthi menampilkan kontrol ketat atas masyarakat, pembatasan kebebasan, dan struktur militer yang dominan dalam setiap aspek kehidupan. Kesan isolasi dan ideologi yang kuat membuat kawasan ini menjadi semi-negara yang sulit dijangkau diplomasi internasional.

Presidential Leadership Council (PLC) di sisi lain memperlihatkan wajah yang mirip Dewan Eropa. Struktur pemerintahan berbasis kolaborasi dan birokrasi, meski sering mengalami gesekan internal, menciptakan nuansa pemerintahan formal yang mencoba menyeimbangkan aspirasi berbagai kelompok etnis dan politik di wilayah yang masih dikuasai pemerintah pusat.

Southern Transitional Council (STC) di selatan mengambil pendekatan yang berbeda dan mirip Uni Emirat Arab. Aden perlahan berkembang menjadi semacam Abu Dhabi di Yaman, pusat politik dan ekonomi, sementara Mukalla menjadi kota komersial yang menyerupai Dubai, dengan fokus pada pembangunan infrastruktur dan investasi regional. STC menekankan stabilitas ekonomi dan kontrol administratif yang relatif kuat di kawasan selatan.

Hadramaut pedalaman, terutama Seiyun, kini menunjukkan karakter mirip Somalia. Wilayah ini menjadi medan percampuran berbagai kekuatan: pro-STC, pro-PLC, dan kelompok lokal yang menuntut kemerdekaan. Ketidakpastian politik dan keamanan membuat daerah ini menjadi semi-otonom, sulit dikendalikan satu pihak secara penuh.

Sementara itu, Mahra berkembang menjadi wilayah yang mirip Oman. Stabilitas relatif di bawah kontrol lokal memungkinkan provinsi ini menjaga ketertiban dan hubungan baik dengan koalisi regional, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, sehingga menjadi oase ketenangan di tengah kekacauan selatan Yaman.

Di pesisir barat, kota Mocha menjadi pusat perlawanan nasional yang dipimpin oleh Tarik Saleh. Keberadaan pasukan loyal dan jaringan pertahanan membuat Mocha mirip Eritrea, wilayah yang menonjolkan kontrol militer kuat dalam menghadapi ancaman eksternal maupun internal.

Marib di timur laut menampilkan situasi yang menyerupai Libya. Kota ini menjadi medan perebutan berbagai kelompok milisi, dengan sumber daya minyak dan gas sebagai fokus utama konflik. Kekacauan yang terus berlangsung membuat Marib sulit dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat.

Fenomena multi face ini menunjukkan bahwa Yaman saat ini bukan lagi negara tunggal dengan struktur pemerintahan homogen. Setiap wilayah berkembang mengikuti logika dan kepentingan lokal yang berbeda, menciptakan mosaic politik yang unik.

Houthi terus memperkuat ideologi dan pengaruh mereka di utara. Penekanan pada kontrol informasi, mobilisasi militer, dan loyalitas ideologis membuat wilayah ini sulit disentuh diplomasi internasional. Model ini semakin meniru karakteristik rezim tertutup yang rigid.

Di selatan, STC memanfaatkan dukungan koalisi regional untuk membangun ekonomi dan infrastruktur. Aden dan Mukalla tumbuh pesat, menjadi simbol kemajuan regional yang menarik investasi, mirip kota-kota modern di Teluk.

PLC di wilayah yang masih dikuasai pemerintah pusat mencoba menjaga keseimbangan melalui diplomasi dan struktur pemerintahan formal. Meskipun menghadapi tekanan internal, PLC menekankan stabilitas hukum dan administrasi sebagai fondasi pengaruhnya.

Hadramaut pedalaman menjadi wilayah paling sulit dikendalikan. Ketiadaan pemerintahan tunggal membuat wilayah ini rentan terhadap konflik antar-militan, persaingan lokal, dan tuntutan kemerdekaan, sehingga menyerupai zona tanpa pemerintahan kuat seperti Somalia.

Mahra menjadi wilayah relatif damai, dengan otoritas lokal mampu mengatur kehidupan warga dan menjaga hubungan baik dengan tetangga. Keadaan ini membuat Mahra menonjol sebagai contoh otonomi yang stabil di tengah Yaman yang terfragmentasi.

Mocha dengan perlawanan nasional Tarik Saleh menunjukkan bagaimana kontrol militer bisa membentuk wilayah semi-otonom yang efektif, mirip pengalaman Eritrea dalam menghadapi ancaman eksternal.

Marib tetap menjadi pusat konflik sumber daya. Pertempuran antar-milisi dan perebutan ladang minyak membuat kota ini semakin mirip Libya, di mana fragmentasi politik dan ekonomi menimbulkan ketidakstabilan berkepanjangan.

Situasi multi face ini menunjukkan kompleksitas Yaman yang luar biasa. Setiap wilayah membangun identitas dan strategi sendiri, sehingga negara ini menjadi laboratorium politik dan militer yang unik.

Kehidupan warga Yaman kini sangat dipengaruhi oleh wilayah tempat mereka tinggal. Bagi yang berada di bawah Houthi, kehidupan diatur dengan ketat; bagi yang di selatan, STC menawarkan stabilitas ekonomi; sementara Hadramaut pedalaman menuntut adaptasi terhadap kekacauan.

Koordinasi antarwilayah hampir mustahil, dan ini menjadi tantangan besar bagi upaya rekonsiliasi nasional. Diplomasi internasional juga harus menyesuaikan diri dengan realitas multi face yang berkembang di Yaman.

Dengan kondisi ini, Yaman menegaskan bahwa konflik bukan sekadar pertarungan militer, tetapi juga perebutan identitas, kontrol administratif, dan pengaruh ekonomi. Negeri ini kini menjadi contoh nyata bagaimana fragmentasi politik dan militer dapat menciptakan wajah multi face dalam satu negara.

Kolaborasi Israel dan Separtis Druze Merongrong Suriah dari Dalam

Selasa, Desember 23, 2025

Strategi Israel di Suriah semakin jelas usai retorika separatis Druze kepada pemerintahan baru Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.

Israel yang getol melakukan sejumlah operasi terrorisme di berbagai negara tetangganya bergerak mengobok-obok Suriah pasca-kejatuhan Presiden Bashar al-Assad pada 8 Desember 2024, saat Ahmad Shar’a, baru memulai awal poin awal pemerintahannya.

Helikopter Israel secara diam-diam menurunkan senjata, amunisi, dan rompi anti peluru ke wilayah selatan Suriah, bersamaan dengan bantuan kemanusiaan. Pengiriman ini ditujukan untuk memperkuat milisi Druze lokal yang dikenal sebagai Dewan Militer, yang menjadi ujung tombak dukungan Israel di wilayah Suwayda.

Dewan Militer awalnya dibentuk dengan dukungan SDF untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Suriah. Milisi ini terdiri dari mantan anggota tentara Assad dan warga lokal, serta dipimpin oleh tokoh Druze berpengaruh, Tarek Al-Shoufi.

Selain peralatan militer, Israel juga menyalurkan dana bulanan antara 100–200 dolar AS bagi sekitar 3.000 anggota Dewan Militer, sekaligus memberikan pelatihan di wilayah Kurdi utara Suriah. Dukungan ini dimaksudkan agar Druze dapat menjadi kekuatan proxy yang dapat digunakan untuk mengganggu Suriah baru sebagai bagian dari proyek neokolonialisme Greater Israel.

DI lapangan, Israel membentuk “zona penyangga” dan menyediakan pusat logistik tempur berupa bahan bakar, makanan, air, dan perawatan medis bagi penduduk 20 desa Druze melalui klinik militer dekat desa Khadr. Mereka juga mendirikan kantor koordinasi bantuan (COGAT) untuk mengelola bantuan, termasuk senjata ringan.

Hasoun Hasoun, mantan jenderal Druze Israel, memimpin arus yang menyerukan dukungan kepada Druze Suriah sebagai kekuatan proxy Israel, menganggapnya sebagai kebutuhan strategis dan moral.

Pada awalnya, Dewan Militer beroperasi dengan karakter relatif sekuler dan pragmatis. Namun, seiring waktu, terjadi metamorfosa signifikan. Tekanan politik, dinamika internal, dan intervensi Israel menggeser Dewan Militer menjadi entitas yang lebih sektarian, bernuansa identitas Druze yang kuat. Druze sendiri merupakan sempalan Syiah Ismailiyah dan lahir di Mesir.

Sheikh Hikmat Al-Hajri muncul sebagai tokoh sentral dalam transformasi ini. Ia memimpin pergeseran strategi dari Dewan Militer ke pembentukan Garda Nasional Druze, menekankan loyalitas komunitas dan tujuan sektarian. Pergeseran ini juga mencerminkan upaya membangun struktur separatisme Druze dengan legitimasi regional untuk mendirikan negara de facto Jabal Bashan.

Transformasi ini semakin nyata ketika dukungan Israel dialihkan secara bertahap dari Dewan Militer ke Garda Nasional. Fokus pada koordinasi militer diperkuat dengan program pelatihan khusus, serta penyediaan rompi anti peluru, obat-obatan, dan logistik yang berkelanjutan.

Garda Nasional Druze yang baru menegaskan identitas sektarian dalam operasionalnya, berbeda dengan karakter awal Dewan Militer yang lebih pragmatis dan kooperatif dengan SDF. Struktur baru ini menekankan hierarki internal yang dikendalikan oleh Al-Hajri dan putranya, Suleiman.

Perubahan ini menimbulkan dampak signifikan terhadap lanskap politik lokal. Garda Nasional menjadi kekuatan kunci yang mempengaruhi konsentrasi pasukan rezim di Suwayda dan Aleppo, sekaligus membatasi kemampuan Shar’a untuk memusatkan kekuasaan secara efektif.

Israel memandang metamorfosa ini sebagai cara strategis untuk menjaga keseimbangan kekuatan. Dengan mendukung entitas yang lebih sektarian, Tel Aviv mampu memanfaatkan persaingan internal dan memperlemah kohesi rezim baru tanpa konfrontasi langsung.

Aliran bantuan Israel sempat mencapai puncaknya pada April 2025, ketika milisi Al Hajri berhasil memancing keributan dengan Arab Badui. Tujuanya suara Druze semakin didengar dunia internasional sebagai pihak korban meski awalnya Arab Badui yang diculik.

Garda Nasional terus mempekuat diri dan tetap menerima persediaan militer dan dana bulanan untuk memastikan kontinuitas pengaruhnya. Hal ini menunjukkan kesinambungan strategi Israel untuk mempertahankan aktor proxy yang loyal dan efektif.

Peralihan dari Dewan Militer ke Garda Nasional juga mengubah pola kepemimpinan lokal. Struktur baru menekankan peran ulama dan tokoh masyarakat Druze, menegaskan legitimasi sektarian sekaligus meningkatkan disiplin internal milisi.

Metamorfosa ini membawa konsekuensi bagi hubungan antar-komunitas di Suriah. Garda Nasional yang lebih sektarian mampu mempertahankan identitas Druze, namun juga menimbulkan ketegangan dengan kelompok minoritas lain serta pemerintah pusat. Kelompok Druze lain yang tidak setuju dengan negara de facto itu diculik dan banyak mati di penjara.

Dukungan Israel terhadap entitas baru ini tidak hanya berupa peralatan dan dana, tetapi juga strategi politik baik di kancang global maupun perang urat syaraf di media sosial. 

Israel memanfaatkan pengalaman sebelumnya di Lebanon Selatan untuk mengelola risiko konflik internal dan menjaga keseimbangan kekuatan.

Bagi komunitas Druze, khususnya pendukung separatisme, transformasi ini menjadi titik balik. Mereka dari sebelumnya hanya berperan sebagai milisi lokal kini memiliki struktur militer dan politik yang jelas, yang dapat mempengaruhi keputusan strategis regional di Suriah selatan.

Garda Nasional Druze juga memperkuat posisi tawar mereka terhadap pemerintah Suriah. Kehadiran mereka menjadi faktor penyeimbang dalam negosiasi keamanan, serta dalam memonopolis hegemoni lokal tanpa terlalu bergantung pada pusat.

Sheikh Al-Hajri memanfaatkan momentum ini untuk menyusun rencana jangka panjang, termasuk peta wilayah otonomi Druze yang bahkan mencakup area hingga perbatasan Irak, yang disiapkan untuk diajukan kepada pemerintah Barat pada awal 2025.

Langkah ini menunjukkan bahwa metamorfosa kekuatan Druze bukan hanya soal militer, tetapi juga soal manuver politik dan legitimasi sektarian yang diperkuat oleh dukungan eksternal. Garda Nasional kini menjadi simbol kapasitas komunitas untuk mengatur nasib sendiri dan sebagai alat neokolonialisme Greater Israel.

Dengan metamorfosa ini, Israel berhasil menjaga pengaruhnya di Suriah selatan melalui aktor proxy yang loyal, sekaligus membatasi pemeeintahan Shar’a di negaranya sendiri. Strategi ini menegaskan pentingnya kombinasi militer, politik, dan sektarian dalam konflik modern Suriah.

Metamorfosa Druze dari Dewan Militer ke Garda Nasional menandai babak baru dalam politik Suriah. Struktur baru ini memperkuat komunitas Druze, memperluas ruang pengaruh Israel, dan sekaligus menghadirkan tantangan bagi pemerintah pusat dalam upaya membangun kesatuan nasional pasca-konflik.

Milisi Gaza Pro Israel Bantah Pemimpinnya Dibunuh Hamas

Sabtu, Desember 06, 2025

Kematian Yasser Abu Shabab, pemimpin kelompok bersenjata Pasukan Popular di Gaza, memicu perdebatan luas di tengah masyarakat yang masih terpecah oleh konflik internal. Abu Shabab tewas dalam sebuah insiden penembakan yang terjadi di timur Rafah, sebuah wilayah yang kini menjadi salah satu pusat ketegangan antara kelompok-kelompok lokal. Insiden itu segera memicu spekulasi, termasuk tuduhan bahwa Hamas berada di balik serangan tersebut.

Menurut keterangan sejumlah saksi, peristiwa berawal dari perselisihan antara dua anggota keluarga besar Abu Sanima. Kedua orang itu mendatangi markas kelompok Abu Shabab untuk menuntut pembebasan seorang anggota keluarga mereka yang ditahan oleh Pasukan Popular. Permintaan itu disampaikan dengan cara yang dianggap menghina, sehingga memicu ketegangan verbal.

Ketegangan berkembang cepat menjadi pertikaian fisik ketika salah satu anggota keluarga meninggalkan lokasi dan kembali dengan membawa senjata. Dalam kondisi emosional yang memuncak, ia melepaskan tembakan secara acak ke arah kerumunan yang berada di sekitar lokasi kejadian. Abu Shabab terkena tembakan dan tewas seketika di tempat.

Wakilnya, Ghassan al-Dahini, ikut terluka parah dan kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit Israel untuk mendapatkan perawatan intensif. Hingga saat ini, kondisinya dilaporkan masih kritis. Insiden tersebut menambah deretan panjang konflik antarkeluarga di Gaza, yang semakin sering terjadi seiring melemahnya otoritas hukum dan tersebarnya senjata di berbagai komunitas.

Tak lama setelah kematian Abu Shabab, sejumlah akun media sosial dan komentar politik mulai menyebarkan narasi bahwa Hamas terlibat dalam penembakan tersebut. Narasi itu mencoba menggambarkan insiden ini sebagai eksekusi politik terselubung terhadap kelompok anti-Hamas yang semakin populer di beberapa wilayah Rafah.

Namun, Pasukan Popular dengan tegas membantah dugaan tersebut. Dalam pernyataan resminya, kelompok itu menyebut bahwa tuduhan terhadap Hamas adalah bentuk propaganda yang tidak berdasar. Mereka menekankan bahwa insiden tersebut murni konflik keluarga yang tidak ada kaitannya dengan persaingan faksi politik di Gaza.

Kelompok itu bahkan menyebut bahwa Hamas “terlalu lemah” untuk melakukan operasi seperti itu di wilayah yang berada di luar kontrolnya. Menurut mereka, Hamas tidak memiliki kepentingan ataupun kekuatan untuk menyerang Pasukan Popular, terutama ketika kelompok itu beroperasi terutama untuk mengamankan wilayah-wilayah tertentu tanpa agenda politik besar.

Pihak Israel turut mengonfirmasi bahwa penyebab kematian Abu Shabab adalah perselisihan keluarga, bukan operasi militer terencana. Seorang pejabat keamanan Israel menyebut Abu Shabab sebagai pemimpin kelompok anti-Hamas yang kerap bersinggungan dengan keluarga lokal akibat tindakan pengamanan internal yang keras.

Keterangan Israel tersebut memperkuat posisi Pasukan Popular yang berusaha meredam rumor keterlibatan Hamas. Meski demikian, suasana kecurigaan tetap terasa di Gaza, mengingat persaingan faksi dan dinamika kekuasaan lokal sering kali mempengaruhi persepsi publik terhadap insiden semacam ini.

Di banyak wilayah Gaza, keluarga besar atau klan masih memiliki peran penting dalam struktur sosial. Sengketa menyangkut kehormatan atau perlakuan yang dianggap menyinggung dapat berkembang cepat menjadi kekerasan, terutama ketika jalur penyelesaian formal tidak berjalan efektif. Faktor itulah yang diyakini memperparah eskalasi dalam kasus Abu Shabab.

Para analis menilai bahwa insiden ini menunjukkan betapa rentannya Gaza terhadap konflik horizontal yang tidak selalu berkaitan dengan faksi politik besar. Ketika senjata tersebar luas dan otoritas hukum lemah, sengketa kecil dapat dengan mudah menelan korban jiwa, bahkan di antara tokoh militer lokal yang berpengaruh.

Bagi Pasukan Popular, kematian pemimpinnya merupakan pukulan serius yang dapat memicu ketidakpastian internal. Kelompok itu selama ini dikenal memiliki hubungan informal dengan jaringan keamanan Israel dan dianggap sebagai salah satu kekuatan yang menentang pengaruh Hamas di Rafah.

Meski begitu, kelompok tersebut berusaha memastikan bahwa kematian Abu Shabab tidak dipolitisasi. Mereka menegaskan bahwa hubungan mereka dengan Hamas bukanlah hubungan permusuhan langsung, melainkan sekadar perbedaan pandangan mengenai keamanan lokal dan penanganan ketertiban di wilayah tertentu.

Di sisi lain, masyarakat Gaza kini menunggu bagaimana Pasukan Popular menata ulang struktur kepemimpinannya. Ketiadaan figur kuat seperti Abu Shabab dapat memunculkan ketegangan baru, terutama jika beberapa kubu internal mulai berlomba mengisi kekosongan kekuasaan.

Situasi ini menambah kompleksitas kondisi Gaza yang sudah dipenuhi berbagai kelompok bersenjata kecil yang mengklaim mewakili kepentingan komunitas tertentu. Persaingan di antara mereka sering kali bukan soal ideologi, tetapi soal kontrol wilayah, distribusi sumber daya, dan kepentingan keluarga besar.

Kematian Abu Shabab juga memperlihatkan bagaimana dinamika kekuasaan di Gaza tidak hanya ditentukan oleh Hamas atau Israel, melainkan juga oleh hubungan internal antar-keluarga dan kelompok lokal. Dalam banyak kasus, konflik keluarga justru lebih sulit dikendalikan karena tidak memiliki struktur komando yang rapi.

Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa insiden ini akan memicu eskalasi besar. Namun ketegangan di tingkat lokal tetap ada, terutama di komunitas Abu Sanima yang kini berada dalam sorotan setelah salah satu anggotanya dinyatakan menjadi pelaku penembakan.

Para tokoh masyarakat setempat mencoba melakukan mediasi untuk mencegah munculnya aksi balas dendam. Mereka berharap kedua keluarga dan Pasukan Popular dapat menerima proses penyelidikan tanpa memicu kekerasan lanjutan.

Di tengah suasana tegang itu, satu pesan yang terus ditekankan Pasukan Popular adalah bahwa Hamas tidak terlibat sedikit pun dalam insiden tersebut. Mereka menegaskan bahwa upaya menghubung-hubungkan Hamas hanya akan memperkeruh keadaan dan membuka ruang bagi konflik baru yang tidak perlu.

Untuk saat ini, Gaza kembali menghadapi kenyataan bahwa konflik internal bisa sama mematikannya dengan pertempuran antar-faksi besar. Kematian Abu Shabab menjadi pengingat bahwa stabilitas di wilayah itu masih rapuh, dan setiap percikan sekecil apa pun dapat menyulut ketegangan baru.

Perkembangan Penyatuan Suriah, Proposal dari Kurdi

Senin, Juli 28, 2025


Keputusan mengejutkan datang dari wilayah timur laut Suriah, ketika komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, mengumumkan rencana untuk menyerahkan kendali atas institusi-institusi sipil kepada pemerintah pusat di Damaskus. Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan terbuka di kota Al-Shaddadi, provinsi Hasakah, dan segera memantik diskusi luas mengenai arah baru hubungan antara otonomi Kurdi dan pemerintahan Presiden Ahmad Al Sharaa. Meski disampaikan dalam suasana damai, langkah ini membawa banyak pertanyaan tentang masa depan kawasan yang selama bertahun-tahun beroperasi secara independen.

Dalam pidatonya, Abdi menegaskan bahwa langkah penyerahan institusi sipil ini bukan berarti SDF menyerah atau membubarkan struktur otonomi yang telah mereka bangun. Ia menyebutkan bahwa lembaga-lembaga sipil seperti pendidikan, kesehatan, dan catatan sipil akan mulai diserahkan kepada Damaskus, dimulai dari wilayah Deir ez-Zor. Rencana ini kemudian akan meluas ke wilayah Raqqa dan Hasakah, yang selama ini menjadi pusat pemerintahan Kurdi di Suriah.

Abdi juga menjelaskan bahwa militer dan struktur keamanan lokal akan tetap berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah. Ia dengan tegas menyebut bahwa tidak ada niat untuk membubarkan kekuatan pertahanan lokal atau mengintegrasikannya secara langsung ke dalam militer Suriah. Menurutnya, keberadaan militer lokal adalah kunci bagi stabilitas kawasan dan harus dihormati dalam proses negosiasi apapun.

Kebijakan ini mencerminkan pendekatan pragmatis dari pihak Kurdi yang ingin menghindari konfrontasi berkepanjangan dengan Damaskus, sambil tetap mempertahankan elemen-elemen inti dari otonomi mereka. Keputusan tersebut juga mencerminkan adanya tekanan eksternal dan internal untuk menemukan solusi politik jangka panjang atas konflik di Suriah yang belum juga usai sejak meletusnya perang pada 2011.

Langkah yang ditempuh Abdi mengundang perbandingan dengan beberapa wilayah di dunia yang pernah atau sedang menerapkan pembagian kekuasaan serupa. Salah satu yang paling sering disebut adalah Kurdistan di Irak. Di wilayah ini, pemerintah daerah otonom mengelola institusi sipil secara penuh dan memiliki kekuatan militer sendiri (Peshmerga), meskipun secara konstitusional tetap berada di dalam negara Irak. Model ini telah berjalan relatif stabil dan memberi Kurdi Irak ruang politik yang luas. Namun hal mirip tidak menghasilkan wajah damai jika dilihat di Israel-Palestina.

Namun, pendekatan Kurdi Suriah tampaknya mengambil jalan yang berbeda, yaitu menyerahkan sipil tapi mempertahankan militer. Ini berbeda pula dengan model Hong Kong sebelum 2020, di mana kota itu memiliki otonomi sipil yang luas namun semua urusan militer dan keamanan tetap berada di bawah kontrol pemerintah pusat Tiongkok. Perbedaan ini menyoroti bahwa kompromi bisa terjadi dalam berbagai bentuk tergantung pada konteks politik dan sejarah masing-masing.

Sementara itu, Bosnia dan Herzegovina menawarkan contoh negara yang terdiri dari dua entitas utama dengan sistem administratif dan hukum terpisah. Dalam kasus ini, administrasi sipil dibagi antara Federasi Bosnia dan Republika Srpska, sedangkan militer sempat bersifat terpisah sebelum akhirnya disatukan secara formal. Proses itu berlangsung penuh ketegangan, menunjukkan bahwa pembagian kekuasaan semacam ini sulit untuk dipertahankan dalam jangka panjang tanpa fondasi hukum yang kuat.

Norwegia juga punya contoh menarik melalui wilayah Svalbard, yang meskipun berada di bawah kedaulatan Norwegia, dikelola secara sipil berdasarkan perjanjian internasional yang melarang aktivitas militer di wilayah itu. Ini adalah contoh unik di mana pengelolaan sipil dan pembatasan militer dibentuk secara hukum dan berlaku secara konsisten, meski tidak sepenuhnya relevan dengan konteks konflik di Suriah.

Ada pula kasus Somaliland, wilayah di utara Somalia yang memproklamirkan kemerdekaannya secara sepihak sejak 1991. Meskipun tidak diakui secara internasional, Somaliland mengelola pemerintahan sipil dan sistem keamanannya sendiri secara independen. Namun tidak seperti otonomi Kurdi, wilayah ini justru memutuskan semua hubungan administratif dengan pemerintah pusat di Mogadishu. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa pengakuan internasional dan struktur konstitusional, otonomi bisa terjebak dalam status quo yang tak menentu.

Situasi Kurdi di Suriah tampak berusaha mencari jalur tengah di antara berbagai model itu. Dengan menyerahkan administrasi sipil namun tetap mempertahankan kekuatan militer, mereka tampaknya mengincar keseimbangan antara legalitas negara dan kenyataan kekuasaan di lapangan. Namun, tanpa adanya kepastian dari pihak Damaskus mengenai keberlangsungan status militer dan otonomi lokal, banyak yang menilai langkah ini bisa menjadi jebakan politik.

Sejumlah laporan menyebutkan bahwa tim teknis gabungan dari pihak Kurdi dan pemerintah Suriah akan segera dibentuk untuk membahas detail teknis proses serah terima. Proses ini diperkirakan melibatkan serangkaian pertemuan koordinasi tentang kurikulum sekolah, sistem kesehatan, hingga pengelolaan catatan sipil yang selama ini ditangani secara lokal oleh otoritas Kurdi.

Langkah tersebut disambut dengan beragam tanggapan dari warga di wilayah-wilayah otonom. Sebagian menilai ini sebagai kompromi wajar untuk menghindari konflik, sementara yang lain khawatir bahwa ini akan menjadi awal dari pembubaran perlahan terhadap struktur otonomi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Ketidakjelasan sikap Damaskus memperparah kekhawatiran tersebut.

Di sisi lain, kehadiran militer asing di wilayah Suriah, termasuk pasukan Amerika dan Rusia, turut mempersulit dinamika ini. SDF sendiri selama ini sangat bergantung pada dukungan Amerika Serikat untuk pertahanan dan pelatihan militer. Masuknya kembali Damaskus ke institusi sipil bisa memicu pertanyaan serius di Washington terkait masa depan komitmen mereka terhadap otonomi Kurdi.

Banyak pihak menilai bahwa kompromi seperti ini bisa menjadi model untuk mengakhiri konflik Suriah secara bertahap, melalui proses konsolidasi administratif yang tidak bersifat konfrontatif. Namun, sejarah panjang konflik di kawasan ini menunjukkan bahwa kesepakatan semacam itu sering kali rapuh dan rentan gagal tanpa jaminan politik yang kuat.

Jika berhasil, langkah ini dapat menjadi preseden bagi wilayah lain di Suriah yang kini masih berada di bawah kontrol kelompok non-negara. Tetapi jika gagal, ini bisa memicu instabilitas baru yang lebih kompleks karena benturan kepentingan antara lokalitas otonom dan keinginan pusat untuk mengkonsolidasikan kembali seluruh wilayahnya.

Langkah ini juga akan diuji oleh kelompok-kelompok Arab lokal di wilayah seperti Deir ez-Zor, yang sebelumnya menunjukkan ketegangan dengan dominasi Kurdi dalam pemerintahan lokal. Jika Damaskus masuk tanpa sensitivitas terhadap ketegangan etnis dan sektarian, maka proses integrasi ini bisa memicu kembali ketegangan lama.

Sejumlah diplomat dari negara-negara Eropa dan PBB dilaporkan telah menyatakan minat untuk memantau proses ini dari dekat. Mereka berharap bahwa pergeseran ini dapat menciptakan ruang diplomasi yang lebih luas antara oposisi moderat dan pemerintah Suriah. Namun semuanya akan bergantung pada konsistensi kebijakan dari kedua pihak yang bersangkutan.

Pernyataan Mazloum Abdi bisa dibaca sebagai sinyal bahwa pihak Kurdi membuka ruang negosiasi, namun tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja. Otonomi mereka bukan hanya soal kelembagaan, tetapi menyangkut identitas dan keselamatan komunitas Kurdi yang selama ini rentan ditekan oleh aktor-aktor regional.

Langkah pembagian kekuasaan seperti ini mungkin tidak sempurna, namun dalam konteks Suriah yang sudah hancur akibat perang, setiap upaya kompromi patut dipertimbangkan. Dunia kini menunggu apakah perjanjian antara Damaskus dan wilayah Kurdi ini akan menjadi solusi atau justru membuka babak baru ketegangan.

Baca selanjutnya

‎Mana Lebih Dulu Menganut Islam: Harahap atau Chola?

Senin, Juli 21, 2025

‎Mana Lebih Dulu Menganut Islam: Harahap atau Chola? (Sebuah Analisis/Belum Tentu Benar)

‎Perdebatan sejarah tentang siapa lebih dahulu memeluk Islam antara marga Harahap dan komunitas Chola dari India Selatan menarik untuk dikaji. Sebab, keduanya kerap disebut memiliki jejak hubungan dengan Islam dalam konteks perjalanan panjang sejarah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun, jika menggunakan versi asal-usul Harahap dari "Halak Arab" atau "Hera Ahap" (dengan tetap menghargai versi lain), maka ada indikasi kuat dan bisa dipastikan bahwa Islam telah lebih dahulu hadir di tengah komunitas leluhur Harahap sebelum mencapai Chola di Tamil Nadu, karena Nabi Muhammad SAW sendiri dan orang disekitarnya adalah orang Arab.

‎Versi ini menyebut bahwa Harahap berasal dari kelompok Arab yang telah lama menetap di wilayah Nusantara, khususnya di Sumatera Utara. Mereka dikenal sebagai kelompok pedagang yang telah berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat lokal jauh sebelum kedatangan kolonialisme ataupun ekspansi kerajaan-kerajaan dari luar pulau. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin komunitas ini telah memeluk Islam sejak awal Islam tersebar melalui bangsa Arab.

‎Islam diyakini telah diturunkan sejak Nabi Adam AS, namun secara historis, ajaran Islam yang sempurna dan terstruktur dimulai sejak diutusnya Nabi Muhammad SAW di abad ke-7 Masehi. Sejak itu, Islam menyebar dari Mekkah dan Madinah ke seluruh dunia melalui dakwah, perdagangan, dan migrasi. Orang-orang Arab dari kawasan seperti Yaman, Hadhramaut, dan bahkan Oman telah menjelajah wilayah Nusantara jauh sebelum kolonialisme Barat datang.

‎Sementara itu, Chola merupakan nama besar dalam sejarah kerajaan di India Selatan. Rajendra Chola I, sang penguasa besar abad ke-11 Masehi, dikenal sebagai raja yang ekspansif dan menyerang wilayah Sriwijaya, termasuk Barus di pantai barat Sumatera. Setelah peristiwa itu, nama Angkola perlahan teebentuk di sekitar Sungai Batang Angkola yang diperkirakan dinamai dari Rajendra Chola.

‎Meski kemungkinan di antara pasukan Chola ada yang muslim, bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa kerajaan Chola pada masa itu belum menganut Islam. Mereka adalah penganut sekte Shaiva, walau sudah menjalin kontak dengan pedagang Muslim.

‎Penelitian arkeologis dan sumber-sumber Tiongkok menyebutkan bahwa komunitas Arab dan umat Islam telah hadir di wilayah pesisir Sumatera sejak awal abad hijriyah. Situs Bongal di Tapanuli Tengah menjadi saksi arkeologis bahwa interaksi dengan dunia Islam sudah berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-9 Masehi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa sebagian masyarakat lokal, termasuk nenek moyang marga Harahap yang berasal dari Halak Arab, sudah berislam pada masa itu.

‎Masuk akal jika leluhur Harahap yang berasal dari jalur Arab telah lebih dahulu mengenal Islam dibandingkan komunitas Cholia atau Tamil Muslim yang baru terdengar gaungnya setelah abad ke-13. Sebab, Islam di India Selatan baru benar-benar berkembang pasca runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu dan setelah pengaruh Gujarat dan Arab semakin kuat di wilayah pesisir India.

‎Tidak dapat dipungkiri bahwa invasi Chola ke wilayah Sriwijaya membawa pengaruh budaya dan militer yang signifikan. Namun tidak ada bukti konkret bahwa Rajendra Chola dan pengikutnya beragenda dakwah Islam saat mereka menginvasi Sumatera. Mereka justru dipandang sebagai kekuatan non-muslim yang berhadapan dengan komunitas Muslim lokal, khususnya di Barus.

‎Kedatangan orang Arab ke Sumatera bukan sekadar persinggahan, tetapi juga membentuk komunitas tetap, membangun permukiman, dan bahkan ikut mengembangkan budaya lokal, termasuk kemudian peradaban marga Harahap di Angkola.

‎Tradisi, bahasa, dan sistem sosial sebagian etnis di pesisir Sumatera, termasuk Tapanuli, menunjukkan adanya pengaruh Arab yang kuat, yang sering kali juga dikaitkan dengan marga Harahap.

‎Sementara itu, komunitas Cholia atau Chulia Tamil yang dikenal sebagai Muslim di Semenanjung Malaya, Sri Lanka, dan Indonesia merupakan hasil dari konversi Islam berabad-abad setelah era Chola. Mereka adalah pedagang Tamil yang menjadi Islam setelah mengalami kontak dagang dengan Arab dan Gujarat, bukan sejak zaman Rajendra Chola.

‎Hal ini memperkuat kesimpulan bahwa jika kita mengacu pada versi Harahap sebagai keturunan Halak Arab, maka komunitas ini telah terlebih dahulu menganut Islam sebelum munculnya komunitas Muslim di kalangan Tamil atau Cholia/Angkola. Mereka membawa serta ajaran Islam ke bumi Sumatera bahkan sebelum banyak kerajaan di Asia Selatan memeluknya.

‎Dengan demikian, versi yang mengaitkan Harahap dengan Halak Arab bukan hanya menawarkan perspektif etnis, tetapi juga membawa narasi kronologis yang lebih tua tentang keislaman. Hal ini memberikan makna baru dalam memahami dinamika Islamisasi awal di Nusantara, yang kerap hanya diasosiasikan dengan pedagang Gujarat dan Wali Songo.

‎Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebagian leluhur marga Harahap—bila versi Halak Arab diterima—telah menganut Islam sebelum era kekuasaan Chola dan sebelum munculnya konversi besar-besaran di India Selatan. Dalam konteks ini, Islam di Sumatera muncul bukan sebagai hasil penaklukan, tapi sebagai bagian dari jaringan dagang dan migrasi spiritual yang melintasi benua.

‎Narasi ini menjadi penting untuk meninjau ulang sejarah lokal yang sering kali terpinggirkan oleh narasi-narasi besar dari luar. Dalam konteks sejarah global Islam, peran komunitas Arab di pesisir Sumatera menunjukkan bahwa Islam datang lebih awal, lebih dalam, dan lebih organik daripada yang sering dibayangkan.

‎Jika demikian, maka marga Harahap, berdasarkan versi keturunan Halak Arab, memiliki sejarah keislaman yang lebih tua daripada komunitas Angkola atau Cholia India Selatan. Sejarah ini bukan hanya soal garis keturunan, tetapi juga soal kedalaman jejak Islam di Nusantara sejak masa paling awal penyebarannya.

‎Baca selanjutnya:

‎1. Sejarah India

‎https://www.facebook.com/share/p/14F3B7TyD2u/
‎ https://www.facebook.com/share/p/19SD5qbjrn/
‎ https://www.facebook.com/share/p/1RbYx4E1wx/

‎2. Pelayaran Arab ke Nusantara

‎https://www.facebook.com/share/p/1EnwgnNg1V/

‎3. Prasasti Chola

‎https://www.facebook.com/share/p/1AaNysnKGr/
‎ https://www.facebook.com/share/p/1AWEkZB71o/

‎4. Versi Harahap (Halak Arab)

‎https://www.asahansatu.co.id/disebut-bayo-angin-ternyata-seperti-ini-sejarah-marga-harahap/

‎https://www.facebook.com/share/p/19CceRb3do/

‎https://www.facebook.com/share/p/16uEKmrQrB/

‎5. Sejarah Batak

‎https://www.facebook.com/share/p/1Eo8qmZDyh/

Baca selanjutnya

Pemimpin Druze Kecam Pembantaian Arab Badui yang Memicu Konflik Baru di Suriah

Minggu, Juli 20, 2025

Terjadi bentrokan sengit di kota As-Suwayda, Suriah, pada 20 Juli 2025. Video yang beredar luas menunjukkan pemandangan yang memilukan: jalanan hancur, bangunan terbakar, dan kepulan asap membumbung tinggi dari sisa-sisa kehancuran. 

Perekam video menggambarkan situasi tersebut sebagai "tragis," menegaskan bahwa kota itu luluh lantak dengan rumah-rumah yang hangus dan bahkan jasad-jasad yang tergeletak di jalanan, di antara bangkai-bangkai mobil.

Kerusakan parah ini dikaitkan dengan konflik antara Druze dan Arab Badui di provinsi As-Suwayda. Kelompok-kelompok ini, menurut perekam video, telah berada di wilayah tersebut kurang dari tiga hari, namun dampaknya begitu besar dan merusak. Mereka datang dengan dalih menyelesaikan konflik yang telah lama berkecamuk antara komunitas Druze dan Badui, tetapi yang terjadi justru adalah bencana kemanusiaan.

Di tengah situasi kacau ini, suara Syekh Aql, pemimpin spiritual komunitas Druze Muwahhidin di Lebanon, muncul sebagai seruan moral. Beliau dengan tegas mengutuk serangan brutal terhadap saudara-saudara Sunni, baik dari kalangan Badui maupun kelompok lainnya, menyatakan bahwa tindakan kekerasan semacam itu sama sekali tidak dapat dibenarkan. 

Sebelumnya kelompok milisi Al Hajri berkoordinasi dengan intelijen Israel melakukan serangkaian cipta kondisi merampok dan menculik warga Arab Badui untuk memancing balasan.

Saat Arab Badui melakukan pembalasan, milisi Al Hajri meneruskan serangkaian pembantaian ke perkampungan Badui yang memicu kemarahan para kabilah Arab. Insiden yang diduga direkayasa oleh agen-agen Mossad itu telah menimbulkan korban jiwa dan saling curiga antar komunitas.

Meski terlambat, kecaman ini datang meskipun beliau memahami bahwa serangan tersebut mungkin merupakan reaksi dari beberapa pejuang yang menyaksikan kekejaman terhadap keluarga mereka setelah mundurnya pasukan keamanan, akibat pemboman oleh Israel.

Syekh Aql menyerukan diakhirinya konflik dengan semangat ksatriaan, kebanggaan, dan ketahanan nasional yang tinggi. Ini adalah panggilan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan prinsip hidup berdampingan yang damai, yang telah lama menjadi pilar masyarakat di wilayah tersebut. 

Beliau berharap agar lembaran kelam ini dapat ditutup dan digantikan dengan upaya-upaya konstruktif menuju perdamaian abadi.

Lebih lanjut, Syekh Aql juga menyoroti bahaya seruan mobilisasi umum yang keras, terutama yang bersifat kesukuan dari berbagai wilayah Suriah. Seruan-seruan yang menyerukan serangan terhadap Sweida atau wilayah lain, menurut beliau, hanya akan memicu perang sektarian yang lebih luas dan menciptakan ketidakpastian yang mendalam di seluruh kawasan. Ini adalah peringatan akan potensi eskalasi yang lebih besar jika pihak-pihak tidak menahan diri.

Secara tegas, Syekh Aql mengutuk keterlibatan Israel. Beliau memandang 'permintaan perlindungan' dari milisi Al Hajri semacam itu sebagai upaya yang akan merusak sejarah dan identitas komunitas mereka. Baginya, setiap intervensi militer yang mengatasnamakan pembelaan Druze Muwahhidin oleh Israel justru akan mencoreng perjuangan dan keberadaan mereka.

Penting bagi Syekh Aql untuk memperkuat hubungan persaudaraan dengan otoritas Sunni di Lebanon. Beliau menekankan perlunya pertemuan-pertemuan strategis untuk menegaskan kembali ikatan sejarah yang kuat antara kedua komunitas ini, sekaligus menolak penyebaran fitnah dan kebencian yang dapat merusak kerukunan di jalanan Lebanon. Ini adalah upaya nyata untuk merajut kembali persatuan yang mungkin telah terkoyak oleh konflik.

Beliau juga menegaskan bahwa Druze Muwahhidin dan Sunni adalah saudara, dan tidak akan menerima ekstremisme dari pihak manapun. Pernyataan ini merupakan penegasan penting terhadap prinsip moderasi dan penolakan terhadap ideologi-ideologi yang memecah belah, baik yang datang dari dalam maupun luar komunitas mereka. Ini adalah pesan perdamaian dan toleransi di tengah badai konflik.

Situasi di As-Suwayda menggambarkan betapa rapuhnya perdamaian di Suriah. Kerusakan fisik yang parah hanyalah manifestasi dari perpecahan dan penderitaan yang lebih dalam yang dialami oleh penduduk sipil. Mereka terjebak di antara berbagai kepentingan kelompok bersenjata yang saling berebut kekuasaan dan pengaruh, dengan dalih-dalih yang seringkali justru memperburuk keadaan.

Melihat kehancuran ini, sulit membayangkan bagaimana masyarakat di As-Suwayda akan bangkit kembali. Infrastruktur yang hancur, hilangnya nyawa, dan trauma psikologis yang mendalam akan menjadi tantangan besar dalam upaya rekonstruksi dan pemulihan.

Bantuan kemanusiaan dan upaya perdamaian yang serius sangat dibutuhkan untuk meringankan beban mereka. Milisi Al Hajri pro Israel telah merusak reputasi orang Druze secara keseluruhan di Suriah.

Pernyataan Syekh Aql memberikan harapan di tengah keputusasaan. Suara dari seorang pemimpin agama yang menyerukan toleransi dan menolak kekerasan adalah mercusuar bagi mereka yang mendambakan perdamaian. 

Ini menunjukkan bahwa meskipun konflik seringkali berakar pada perbedaan, masih ada ruang bagi dialog dan rekonsiliasi.

Konflik antara Druze dan Badui yang disebut-sebut sebagai pemicu awal, sebenarnya adalah bagian dari narasi yang lebih besar tentang ketidakstabilan di Suriah dan upaya neo kolonialisme Greater Israel yang memicu kekacauan di beberapa negara Arab tetangga Israel.

Berbagai faksi bersenjata kerap memanfaatkan ketegangan komunal untuk memajukan agenda mereka sendiri, yang pada akhirnya hanya membawa kehancuran bagi semua pihak yang terlibat.

Kecaman terhadap "geng-geng pro Israel" juga mengindikasikan adanya kelompok-kelompok bersenjata yang beroperasi di luar kendali pemerintah atau bahkan dari faksi-faksi yang lebih besar. Kehadiran mereka seringkali memperparah situasi dan menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus, terutama ketika mereka berdalih datang untuk menyelesaikan konflik, namun justru memperkeruh suasana.

Penolakan Syekh Aql terhadap campur tangan Israel juga sangat signifikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada simpati internasional, komunitas Druze ingin menentukan nasib mereka sendiri tanpa menjadi alat dalam perebutan pengaruh regional. Mereka memahami bahwa bantuan dari pihak luar, jika tidak hati-hati, dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan dan merusak kedaulatan mereka.

Seruan untuk memperkuat hubungan dengan otoritas Sunni di Lebanon adalah langkah strategis untuk mencegah konflik sektarian meluas ke negara tetangga.

Lebanon sendiri memiliki sejarah kompleks dengan ketegangan sektarian, dan penting bagi para pemimpin agama untuk bekerja sama guna memastikan bahwa api konflik di Suriah tidak menjalar.

Pesan bahwa Druze Muwahhidin dan Sunni adalah saudara adalah fundamental. Ini adalah pengingat bahwa di balik perbedaan-perbedaan, ada ikatan persaudaraan dan kemanusiaan yang lebih besar. Menolak ekstremisme dari pihak manapun adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.

Masa depan As-Suwayda dan wilayah sekitarnya masih diselimuti ketidakpastian. Namun, dengan adanya suara-suara seperti Syekh Aql yang menyerukan perdamaian dan menolak kekerasan, ada secercah harapan bahwa masyarakat dapat menemukan jalan keluar dari lingkaran setan konflik ini. Ini adalah perjuangan yang panjang, namun dengan tekad kuat untuk rekonsiliasi, perdamaian mungkin masih dapat dicapai.

Warga sipil adalah korban utama dalam setiap konflik bersenjata. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan orang-orang yang dicintai. Prioritas utama harus selalu pada perlindungan warga sipil dan penyediaan bantuan kemanusiaan yang mendesak, sambil secara bersamaan mencari solusi politik yang berkelanjutan untuk mengakhiri kekerasan.

Dunia internasional memiliki peran penting dalam mendukung upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Suriah. Ini mencakup pemberian bantuan kemanusiaan, mediasi antara pihak-pihak yang bertikai, dan menekan semua pihak untuk mematuhi hukum humaniter internasional. Tanpa upaya kolektif, penderitaan di As-Suwayda dan wilayah lain akan terus berlanjut.

Misteri Asal Kata Timur dan Sejarah

Senin, Juli 07, 2025
Selama ini, kata "Timur" akrab di telinga kita sebagai penunjuk arah mata angin. Namun, tahukah Anda bahwa asal-usul kata ini dalam khazanah Melayu memiliki kaitan erat dengan jejak peradaban Persia dan seorang tokoh penakluk legendaris? Sejarah dan hikayat lama mengungkap sebuah narasi menarik yang menghubungkan penamaan geografis ini dengan kebiasaan Persia yang merujuk wilayah timur mereka sebagai "bilad timur," merujuk pada nama Timur Lenk.

Dunia Melayu, melalui karya sastra klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu, diduga kuat mengadopsi konsep ini. Yang awalnya adalah sebutan untuk wilayah yang terkait dengan sang penakluk, perlahan berubah menjadi nama arah dan kemudian menjelma menjadi penamaan tempat seperti Pulau Timor. Sebuah adopsi linguistik yang menunjukkan kuatnya interaksi budaya antara peradaban Melayu dan Persia di masa lampau.

Kendati demikian, catatan-catatan Persia klasik ternyata jarang sekali menyebut "al-Timūr" secara spesifik untuk merujuk ke wilayah Nusantara. Sejarawan dan filolog menyoroti bahwa istilah "al-Timūr" (التيمور) untuk Nusantara memang hampir tidak ditemukan dalam teks-teks Persia kuno. Ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana kemudian konsep tersebut bisa terserap dan bertransformasi dalam konteks Melayu.

Buku-buku Arab-Persia abad pertengahan lebih lazim menggunakan istilah lain untuk wilayah timur jauh, termasuk Nusantara. Misalnya, mereka kerap menyebut Bilād al-Masyriq (بلاد المشرق) yang berarti "Negeri-negeri Timur" atau secara langsung merujuk pada Bilād al-Jāwah (بلاد الجاوة) sebagai "Negeri Jawa" atau Nusantara. Bahkan, seringkali mereka langsung menyebut nama pelabuhan-pelabuhan penting seperti Samudra (Pasai), Malaka, atau Kalāh (Kedah).

Namun, tidak berarti tidak ada catatan Persia-Islam penting yang membahas kawasan timur ini. Kitāb ‘Ajā’ib al-Hind karya Buzurg ibn Shahriyar dari abad ke-10 M, sebuah catatan pelayaran Persia, menyebut kawasan pelabuhan timur jauh, termasuk Nusantara, sebagai bagian dari negeri timur (masyriq). Namun, ia tidak secara spesifik menggunakan istilah "timūr" untuk wilayah tersebut.

Demikian pula, Nuhbat al-Dahr fī ‘Ajā’ib al-Barr wa al-Baḥr karya al-Dimashqi pada abad ke-14 M, menyebutkan kawasan Jāwah dan negeri-negeri timur hingga Samudra (Pasai), tetapi tetap konsisten menggunakan istilah "masyriq," bukan "timūr." Ini menunjukkan pola penggunaan terminologi yang serupa di berbagai teks geografis dan historis.

Karya lain, Masālik al-Abṣār fī Mamālik al-Amṣār oleh al-‘Umari (wafat 1349 M), juga menyebut kawasan Samudra Pasai dan Malaka sebagai negeri-negeri yang berada di bilād al-masyriq al-aqṣā (negeri timur jauh). Penekanan pada "masyriq" sebagai penunjuk arah timur tampaknya menjadi standar dalam literatur Arab dan Persia saat itu.

Lalu, bagaimana dengan "Timūr" itu sendiri? Dalam buku sejarah seperti Tārīkh-i Rūzīdah yang membahas dinasti Timuriyah pada abad ke-15 M, kata "Timūr" secara tegas digunakan untuk merujuk kepada Timur Lenk, sang penakluk besar, dan bukan sebagai nama wilayah. Meskipun konsep "bilād al-timūr" kadang muncul dalam teks Persia untuk menunjuk wilayah Asia Timur (termasuk Transoxiana dan Turkestan), belum ada catatan Persia yang secara eksplisit menyebut Nusantara sebagai "al-Timūr."

Kesimpulannya, studi mendalam terhadap sumber-sumber klasik Persia menunjukkan bahwa tidak ada catatan yang secara spesifik menamai Nusantara sebagai "al-Timūr." Sumber-sumber Persia-Arab lebih memilih untuk menggunakan istilah seperti Bilād al-Masyriq (negeri-negeri timur), Bilād al-Jāwah, atau langsung menyebut nama pelabuhan strategis seperti Samudra dan Malaka. Kata "Timūr" dalam konteks tekstual Persia selalu merujuk pada Timur Lenk atau wilayah geografis di Asia Tengah.

Fenomena ini menggarisbawahi kompleksitas penyerapan dan adaptasi linguistik dalam sejarah. Meskipun secara langsung istilah "al-Timūr" tidak merujuk Nusantara dalam teks Persia, kemungkinan besar adaptasi konsep "timur" yang terkait dengan Timur Lenk, atau sekadar arah "masyriq," menjadi inspirasi bagi penamaan dalam dunia Melayu. Ini adalah bukti nyata bagaimana pergerakan ide dan istilah melampaui batasan geografis dan linguistik, membentuk identitas penamaan yang kita kenal hingga hari ini.

Asal Kata "Sejarah": Dari Pohon Keluarga hingga Narasi Masa Lalu

Kata "sejarah" yang kita gunakan dalam bahasa Indonesia dan Melayu berasal dari bahasa Arab: شجرة (syajaratun). Secara harfiah, "syajaratun" memang berarti "pohon". Pada pandangan pertama, hubungan antara "pohon" dan "masa lalu" mungkin terasa tidak nyambung. Namun, ada penjelasan filosofis dan historis yang kuat di baliknya.

Dalam konteks awal penggunaannya, "syajaratun" yang diserap ke dalam bahasa Melayu mengacu pada pohon silsilah atau pohon keturunan. Ini merujuk pada catatan asal-usul, nenek moyang, dan garis keturunan suatu keluarga, suku, atau bahkan raja-raja. Seperti pohon yang memiliki akar, batang, cabang, ranting, dan daun yang terus tumbuh dan berkembang, silsilah menggambarkan bagaimana suatu garis keturunan bermula dan bercabang seiring waktu.

Dari makna "pohon silsilah" inilah kemudian berkembang menjadi pengertian yang lebih luas, yaitu catatan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, termasuk asal-usul suatu bangsa, kerajaan, atau peradaban. Konsep pohon sebagai simbol pertumbuhan, perkembangan, dan hubungan antar generasi menjadi analogi yang kuat untuk memahami urutan waktu dan peristiwa dalam kehidupan manusia.

"History" dalam Bahasa Arab: Tarikh dan Istilah Lainnya

Menariknya, dalam bahasa Arab sendiri, konsep "history" atau sejarah tidak diwakili oleh kata "syajaratun". Sebagaimana yang Anda sebutkan, istilah yang paling umum digunakan adalah تاريخ (tarikh).

Kata "tarikh" ini memiliki akar kata yang berkaitan dengan waktu, penentuan waktu, atau penanggalan. Jadi, "ilmu tarikh" secara harfiah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa berdasarkan kronologi waktu. Ini sangat relevan dengan disiplin sejarah modern yang sangat menekankan pada urutan waktu dan periodisasi.

Selain "tarikh", ada juga istilah lain dalam bahasa Arab yang berkaitan dengan narasi masa lalu, seperti:

 * سيرة (sirah): Biasanya merujuk pada biografi atau riwayat hidup seseorang, terutama Nabi Muhammad SAW (Sirah Nabawiyah). Kata ini menekankan pada cara hidup, perilaku, dan perjalanan seseorang.

 * أخبار (akhbar): Berarti "berita" atau "laporan". Dalam konteks yang lebih luas, bisa merujuk pada catatan peristiwa.
Hubungan dengan Persia: Jalur Penyerapan Kosakata dan Konsep
Hubungan antara bahasa Arab, Persia, dan Melayu dalam konteks kosakata adalah hal yang sangat menarik dan kaya.

 * Pengaruh Persia pada Bahasa Arab: Meskipun bahasa Arab adalah bahasa Semit dan Persia (Farsi) adalah bahasa Indo-Eropa, ada interaksi linguistik yang signifikan antara keduanya, terutama setelah penaklukan Persia oleh Muslim pada abad ke-7. Banyak kosakata Persia yang diserap ke dalam bahasa Arab, terutama yang berkaitan dengan administrasi, budaya istana, dan beberapa aspek kehidupan sosial. Sebaliknya, bahasa Persia mengadopsi abjad Arab dan banyak kosakata Arab, terutama yang berkaitan dengan agama dan ilmu pengetahuan Islam.

 * Penyerapan "Syajaratun" ke Melayu: Mengapa bahasa Melayu mengadopsi "syajaratun" untuk "sejarah" alih-alih "tarikh"?

   * Konsep Silsilah yang Kuat: Kemungkinan besar, pada saat awal interaksi dan penyerapan kosakata, konsep "pohon silsilah" (genealogi) adalah aspek yang sangat menonjol dan relevan dalam masyarakat Melayu untuk mencatat dan memahami masa lalu. Struktur masyarakat yang berbasis pada keturunan raja-raja dan bangsawan menjadikan "syajaratun" sebagai metafora yang pas.

   * Jalur Transmisi Pengetahuan: Pedagang, ulama, dan pengembara dari Jazirah Arab dan Persia memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan bahasa. Mungkin saja dalam transmisi awal, penekanan pada aspek silsilah lebih dominan dalam narasi sejarah yang dibawa dan dipahami oleh masyarakat Melayu.

   * Pengaruh Persia dalam Jalur Islamisasi: Teori masuknya Islam ke Nusantara melalui Persia (selain Arab dan Gujarat) juga memberikan dasar yang kuat bagi penyerapan kosakata. Bahasa Persia sendiri memiliki banyak serapan dari bahasa Arab. Adakalanya, kata-kata Arab yang masuk ke Melayu mungkin sudah melalui "filter" atau interpretasi dalam budaya Persia terlebih dahulu, atau memang ada penekanan tertentu pada makna tertentu dalam tradisi keilmuan Persia yang kemudian sampai ke Nusantara.

   * Perbedaan Fokus Awal: Mungkin pada masa awal, "tarikh" lebih merujuk pada penanggalan atau kronik peristiwa, sementara "syajaratun" lebih merujuk pada narasi yang lebih luas tentang asal-usul dan perkembangan suatu entitas (mirip dengan "history" dalam pengertian modern yang lebih luas dari sekadar tanggal).

Jadi, bisa disimpulkan bahwa asal kata "sejarah" memang dari bahasa Arab "syajaratun" yang berarti pohon, terutama dalam konteks silsilah. Sementara "history" dalam bahasa Arab adalah "tarikh", yang berfokus pada kronologi waktu. Penyerapan "syajaratun" ke dalam bahasa Melayu sebagai "sejarah" mencerminkan fokus awal pada silsilah dan narasi asal-usul. Meskipun bukan secara langsung dari Persia, interaksi budaya dan linguistik yang kompleks di jalur perdagangan dan penyebaran Islam (yang melibatkan Arab, Persia, dan India) kemungkinan besar memengaruhi bagaimana kosakata-kosakata ini diserap dan dimaknai di dunia Melayu.



 
Copyright © Berita Tampahan. Designed by OddThemes