Keputusan mengejutkan datang dari wilayah timur laut Suriah, ketika komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, mengumumkan rencana untuk menyerahkan kendali atas institusi-institusi sipil kepada pemerintah pusat di Damaskus. Pernyataan itu disampaikan dalam pertemuan terbuka di kota Al-Shaddadi, provinsi Hasakah, dan segera memantik diskusi luas mengenai arah baru hubungan antara otonomi Kurdi dan pemerintahan Presiden Ahmad Al Sharaa. Meski disampaikan dalam suasana damai, langkah ini membawa banyak pertanyaan tentang masa depan kawasan yang selama bertahun-tahun beroperasi secara independen.
Dalam pidatonya, Abdi menegaskan bahwa langkah penyerahan institusi sipil ini bukan berarti SDF menyerah atau membubarkan struktur otonomi yang telah mereka bangun. Ia menyebutkan bahwa lembaga-lembaga sipil seperti pendidikan, kesehatan, dan catatan sipil akan mulai diserahkan kepada Damaskus, dimulai dari wilayah Deir ez-Zor. Rencana ini kemudian akan meluas ke wilayah Raqqa dan Hasakah, yang selama ini menjadi pusat pemerintahan Kurdi di Suriah.
Abdi juga menjelaskan bahwa militer dan struktur keamanan lokal akan tetap berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah. Ia dengan tegas menyebut bahwa tidak ada niat untuk membubarkan kekuatan pertahanan lokal atau mengintegrasikannya secara langsung ke dalam militer Suriah. Menurutnya, keberadaan militer lokal adalah kunci bagi stabilitas kawasan dan harus dihormati dalam proses negosiasi apapun.
Kebijakan ini mencerminkan pendekatan pragmatis dari pihak Kurdi yang ingin menghindari konfrontasi berkepanjangan dengan Damaskus, sambil tetap mempertahankan elemen-elemen inti dari otonomi mereka. Keputusan tersebut juga mencerminkan adanya tekanan eksternal dan internal untuk menemukan solusi politik jangka panjang atas konflik di Suriah yang belum juga usai sejak meletusnya perang pada 2011.
Langkah yang ditempuh Abdi mengundang perbandingan dengan beberapa wilayah di dunia yang pernah atau sedang menerapkan pembagian kekuasaan serupa. Salah satu yang paling sering disebut adalah Kurdistan di Irak. Di wilayah ini, pemerintah daerah otonom mengelola institusi sipil secara penuh dan memiliki kekuatan militer sendiri (Peshmerga), meskipun secara konstitusional tetap berada di dalam negara Irak. Model ini telah berjalan relatif stabil dan memberi Kurdi Irak ruang politik yang luas. Namun hal mirip tidak menghasilkan wajah damai jika dilihat di Israel-Palestina.
Namun, pendekatan Kurdi Suriah tampaknya mengambil jalan yang berbeda, yaitu menyerahkan sipil tapi mempertahankan militer. Ini berbeda pula dengan model Hong Kong sebelum 2020, di mana kota itu memiliki otonomi sipil yang luas namun semua urusan militer dan keamanan tetap berada di bawah kontrol pemerintah pusat Tiongkok. Perbedaan ini menyoroti bahwa kompromi bisa terjadi dalam berbagai bentuk tergantung pada konteks politik dan sejarah masing-masing.
Sementara itu, Bosnia dan Herzegovina menawarkan contoh negara yang terdiri dari dua entitas utama dengan sistem administratif dan hukum terpisah. Dalam kasus ini, administrasi sipil dibagi antara Federasi Bosnia dan Republika Srpska, sedangkan militer sempat bersifat terpisah sebelum akhirnya disatukan secara formal. Proses itu berlangsung penuh ketegangan, menunjukkan bahwa pembagian kekuasaan semacam ini sulit untuk dipertahankan dalam jangka panjang tanpa fondasi hukum yang kuat.
Norwegia juga punya contoh menarik melalui wilayah Svalbard, yang meskipun berada di bawah kedaulatan Norwegia, dikelola secara sipil berdasarkan perjanjian internasional yang melarang aktivitas militer di wilayah itu. Ini adalah contoh unik di mana pengelolaan sipil dan pembatasan militer dibentuk secara hukum dan berlaku secara konsisten, meski tidak sepenuhnya relevan dengan konteks konflik di Suriah.
Ada pula kasus Somaliland, wilayah di utara Somalia yang memproklamirkan kemerdekaannya secara sepihak sejak 1991. Meskipun tidak diakui secara internasional, Somaliland mengelola pemerintahan sipil dan sistem keamanannya sendiri secara independen. Namun tidak seperti otonomi Kurdi, wilayah ini justru memutuskan semua hubungan administratif dengan pemerintah pusat di Mogadishu. Hal ini memperlihatkan bahwa tanpa pengakuan internasional dan struktur konstitusional, otonomi bisa terjebak dalam status quo yang tak menentu.
Situasi Kurdi di Suriah tampak berusaha mencari jalur tengah di antara berbagai model itu. Dengan menyerahkan administrasi sipil namun tetap mempertahankan kekuatan militer, mereka tampaknya mengincar keseimbangan antara legalitas negara dan kenyataan kekuasaan di lapangan. Namun, tanpa adanya kepastian dari pihak Damaskus mengenai keberlangsungan status militer dan otonomi lokal, banyak yang menilai langkah ini bisa menjadi jebakan politik.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa tim teknis gabungan dari pihak Kurdi dan pemerintah Suriah akan segera dibentuk untuk membahas detail teknis proses serah terima. Proses ini diperkirakan melibatkan serangkaian pertemuan koordinasi tentang kurikulum sekolah, sistem kesehatan, hingga pengelolaan catatan sipil yang selama ini ditangani secara lokal oleh otoritas Kurdi.
Langkah tersebut disambut dengan beragam tanggapan dari warga di wilayah-wilayah otonom. Sebagian menilai ini sebagai kompromi wajar untuk menghindari konflik, sementara yang lain khawatir bahwa ini akan menjadi awal dari pembubaran perlahan terhadap struktur otonomi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Ketidakjelasan sikap Damaskus memperparah kekhawatiran tersebut.
Di sisi lain, kehadiran militer asing di wilayah Suriah, termasuk pasukan Amerika dan Rusia, turut mempersulit dinamika ini. SDF sendiri selama ini sangat bergantung pada dukungan Amerika Serikat untuk pertahanan dan pelatihan militer. Masuknya kembali Damaskus ke institusi sipil bisa memicu pertanyaan serius di Washington terkait masa depan komitmen mereka terhadap otonomi Kurdi.
Banyak pihak menilai bahwa kompromi seperti ini bisa menjadi model untuk mengakhiri konflik Suriah secara bertahap, melalui proses konsolidasi administratif yang tidak bersifat konfrontatif. Namun, sejarah panjang konflik di kawasan ini menunjukkan bahwa kesepakatan semacam itu sering kali rapuh dan rentan gagal tanpa jaminan politik yang kuat.
Jika berhasil, langkah ini dapat menjadi preseden bagi wilayah lain di Suriah yang kini masih berada di bawah kontrol kelompok non-negara. Tetapi jika gagal, ini bisa memicu instabilitas baru yang lebih kompleks karena benturan kepentingan antara lokalitas otonom dan keinginan pusat untuk mengkonsolidasikan kembali seluruh wilayahnya.
Langkah ini juga akan diuji oleh kelompok-kelompok Arab lokal di wilayah seperti Deir ez-Zor, yang sebelumnya menunjukkan ketegangan dengan dominasi Kurdi dalam pemerintahan lokal. Jika Damaskus masuk tanpa sensitivitas terhadap ketegangan etnis dan sektarian, maka proses integrasi ini bisa memicu kembali ketegangan lama.
Sejumlah diplomat dari negara-negara Eropa dan PBB dilaporkan telah menyatakan minat untuk memantau proses ini dari dekat. Mereka berharap bahwa pergeseran ini dapat menciptakan ruang diplomasi yang lebih luas antara oposisi moderat dan pemerintah Suriah. Namun semuanya akan bergantung pada konsistensi kebijakan dari kedua pihak yang bersangkutan.
Pernyataan Mazloum Abdi bisa dibaca sebagai sinyal bahwa pihak Kurdi membuka ruang negosiasi, namun tidak akan menyerahkan semuanya begitu saja. Otonomi mereka bukan hanya soal kelembagaan, tetapi menyangkut identitas dan keselamatan komunitas Kurdi yang selama ini rentan ditekan oleh aktor-aktor regional.
Langkah pembagian kekuasaan seperti ini mungkin tidak sempurna, namun dalam konteks Suriah yang sudah hancur akibat perang, setiap upaya kompromi patut dipertimbangkan. Dunia kini menunggu apakah perjanjian antara Damaskus dan wilayah Kurdi ini akan menjadi solusi atau justru membuka babak baru ketegangan.