Sejarah Pertarungan Geopolitik Suriah dan AS di Timur Tengah


Sejak awal dekade 1990-an, dinamika hubungan antara Suriah dan Amerika Serikat memainkan peran penting dalam lanskap politik Timur Tengah. Pada saat Perang Teluk pertama meletus tahun 1990-1991, Suriah di bawah kepemimpinan Hafez al-Assad mengambil langkah mengejutkan dengan bergabung ke dalam koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat untuk melawan Irak di bawah Saddam Hussein. Keputusan itu dilatarbelakangi oleh rivalitas lama antara Damaskus dan Baghdad yang sama-sama dipimpin rezim Ba'athis, namun bersaing keras dalam pengaruh kawasan.

Partisipasi Suriah dalam Perang Teluk I bukan sekadar soal geopolitik Irak-Kuwait. Bagi Damaskus, ini merupakan kesempatan strategis untuk mendekat ke Amerika Serikat, meredakan tekanan internasional atas kehadiran militernya di Lebanon, sekaligus memperkuat posisi domestiknya. Sebagai imbalan atas keikutsertaannya, Washington memberikan lampu hijau atas operasi militer Suriah di Lebanon untuk menumpas kubu perlawanan yang tersisa, khususnya kelompok yang dipimpin oleh Jenderal Michel Aoun.

Pada 13 Oktober 1990, Suriah melancarkan operasi besar ke wilayah pendudukan Aoun di sekitar Istana Baabda, Beirut. Ini menjadi pertama kalinya sejak pengepungan Zahle tahun 1981 Suriah mengerahkan angkatan udaranya di Lebanon. Dengan dukungan tentara Lebanon loyalis Émile Lahoud, mereka berhasil menumpas kekuatan Aoun yang selama ini menjadi penghalang utama dominasi penuh Suriah di Lebanon.
Operasi militer itu tidak mungkin berjalan tanpa kesepakatan terselubung antara Damaskus dan Washington. Sejarawan William Harris menyebutkan bahwa Suriah baru berani mengerahkan kekuatan penuhnya setelah Amerika memastikan bahwa Israel tidak akan menyerang pesawat tempur Suriah yang beroperasi di wilayah udara Beirut. Hal ini memperlihatkan betapa dalamnya transaksi politik antara dua negara yang di luar tampak berseteru, namun di balik layar bisa bekerja sama demi kepentingan masing-masing.

Michel Aoun yang saat itu menjadi simbol perlawanan anti-penjajahan Suriah di Lebanon akhirnya melarikan diri ke Kedutaan Besar Prancis di Beirut sebelum diasingkan ke Paris. Kekalahan ini menandai berakhirnya Perang Saudara Lebanon yang berlangsung sejak 1975 dan memantapkan cengkeraman militer-politik Suriah atas Lebanon yang bertahan hingga awal 2000-an.

Namun, hubungan hangat antara Damaskus dan Washington itu tak berlangsung lama. Memasuki dekade 1990-an akhir, ketegangan mulai meningkat seiring perbedaan pandangan dalam sejumlah isu regional. Di antaranya soal proses perdamaian Israel-Palestina, pengaruh Suriah di Lebanon, dan hubungan Damaskus dengan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan Hamas yang dianggap AS sebagai organisasi teroris.
Puncak keretakan terjadi pasca Perang Teluk II pada 2003, ketika Amerika Serikat di bawah George W. Bush menggulingkan Saddam Hussein di Irak. Suriah yang sejak awal menentang invasi itu dituding membantu kelompok-kelompok perlawanan Irak melawan pasukan koalisi, sekaligus dituduh menjadi pintu masuk bagi pejuang asing yang ingin bertempur di Irak.

Di saat yang sama, Amerika mulai menekan Suriah agar menarik pasukannya dari Lebanon. Desakan ini diperkuat oleh tewasnya mantan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dalam sebuah ledakan bom di Beirut pada 2005, yang dituding kuat melibatkan intelijen Suriah. Gelombang protes di Lebanon dan tekanan internasional akhirnya memaksa Suriah menarik mundur seluruh pasukannya dari Lebanon setelah 29 tahun bercokol di negeri itu.

Momen pembunuhan Hariri menjadi garis demarkasi penting yang secara resmi mengakhiri era kedekatan Suriah dan Amerika. Damaskus kembali diposisikan Washington sebagai bagian dari apa yang mereka sebut "poros kejahatan" bersama Iran dan Korea Utara, terutama karena hubungan eratnya dengan Hizbullah dan Hamas yang dianggap ancaman bagi sekutu Amerika di kawasan.

Meski demikian, di awal 2000-an sebenarnya hubungan keduanya sempat coba dipulihkan. Beberapa utusan khusus Amerika dikirim ke Damaskus untuk membicarakan isu Irak, Lebanon, dan Palestina. Namun, perbedaan sikap soal perlawanan bersenjata dan dominasi Suriah atas politik Lebanon menjadi batu sandungan utama yang sulit disepakati.

Perang Sipil Suriah yang pecah sejak 2011 makin memperlebar jurang antara kedua negara. Amerika mendukung kelompok-kelompok oposisi bersenjata yang ingin menggulingkan rezim Bashar al-Assad, sementara Damaskus tetap bertahan dengan dukungan Rusia, Iran, dan Hizbullah. Situasi ini membuat posisi Suriah di kawasan makin terisolasi dari poros pro-Amerika.

Suriah sempat kehilangan banyak sekutu tradisionalnya di dunia Arab, terutama setelah Liga Arab membekukan keanggotaannya. Namun, perlahan Damaskus kembali mendapat simpati dari sebagian negara Arab dalam beberapa tahun terakhir, meskipun hubungan dengan Amerika tetap beku.

Belakangan, posisi Suriah dalam geopolitik Timur Tengah sepenuhnya bertumpu pada aliansi dengan Rusia dan Iran, hingga tumbangnya rejim Bashar Al Assad. Kedekatan itu membuat Suriah sulit kembali menjalin hubungan konstruktif dengan Amerika Serikat, kecuali terjadi perubahan besar dalam dinamika politik regional.

Kisah hubungan Suriah-Amerika ini menunjukkan bagaimana rivalitas, pragmatisme, dan kepentingan sesaat bisa menggeser garis pertemanan atau permusuhan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Apa yang dulu dibangun dalam satu dekade bisa runtuh dalam hitungan hari, seperti yang terjadi setelah invasi Irak dan pembunuhan Hariri.

Lebanon sendiri menjadi medan pertarungan tak langsung antara dua negara itu. Selama hampir dua dekade, Suriah memainkan peran dominan dalam menentukan siapa yang memimpin Lebanon, dengan persetujuan atau keberatan diam-diam dari Washington. Tapi pasca 2005, pengaruh itu perlahan terkikis seiring dinamika baru di Beirut yang lebih terbuka ke Barat.

Hingga hari ini, jejak-jejak intervensi Suriah di Lebanon masih membekas dalam politik dan masyarakatnya. Nama Aoun yang dulu diasingkan kini justru sempat menjabat Presiden Lebanon pasca kembalinya dari pengasingan. Sementara Amerika terus memainkan perannya melalui bantuan militer dan diplomasi untuk membendung pengaruh Iran dan Suriah.

Sejarah relasi Suriah dan Amerika adalah potret klasik Timur Tengah: penuh kalkulasi, pengkhianatan, dan aliansi yang bisa berganti arah sesuai kebutuhan. Peristiwa 13 Oktober 1990 menjadi salah satu titik penting di mana kesepakatan diam-diam kedua negara mengorbankan Lebanon demi ambisi geopolitik masing-masing.

Share this:

 
Copyright © Berita Tampahan. Designed by OddThemes