Milisi Gaza Pro Israel Bantah Pemimpinnya Dibunuh Hamas


Kematian Yasser Abu Shabab, pemimpin kelompok bersenjata Pasukan Popular di Gaza, memicu perdebatan luas di tengah masyarakat yang masih terpecah oleh konflik internal. Abu Shabab tewas dalam sebuah insiden penembakan yang terjadi di timur Rafah, sebuah wilayah yang kini menjadi salah satu pusat ketegangan antara kelompok-kelompok lokal. Insiden itu segera memicu spekulasi, termasuk tuduhan bahwa Hamas berada di balik serangan tersebut.

Menurut keterangan sejumlah saksi, peristiwa berawal dari perselisihan antara dua anggota keluarga besar Abu Sanima. Kedua orang itu mendatangi markas kelompok Abu Shabab untuk menuntut pembebasan seorang anggota keluarga mereka yang ditahan oleh Pasukan Popular. Permintaan itu disampaikan dengan cara yang dianggap menghina, sehingga memicu ketegangan verbal.

Ketegangan berkembang cepat menjadi pertikaian fisik ketika salah satu anggota keluarga meninggalkan lokasi dan kembali dengan membawa senjata. Dalam kondisi emosional yang memuncak, ia melepaskan tembakan secara acak ke arah kerumunan yang berada di sekitar lokasi kejadian. Abu Shabab terkena tembakan dan tewas seketika di tempat.

Wakilnya, Ghassan al-Dahini, ikut terluka parah dan kemudian dibawa ke sebuah rumah sakit Israel untuk mendapatkan perawatan intensif. Hingga saat ini, kondisinya dilaporkan masih kritis. Insiden tersebut menambah deretan panjang konflik antarkeluarga di Gaza, yang semakin sering terjadi seiring melemahnya otoritas hukum dan tersebarnya senjata di berbagai komunitas.

Tak lama setelah kematian Abu Shabab, sejumlah akun media sosial dan komentar politik mulai menyebarkan narasi bahwa Hamas terlibat dalam penembakan tersebut. Narasi itu mencoba menggambarkan insiden ini sebagai eksekusi politik terselubung terhadap kelompok anti-Hamas yang semakin populer di beberapa wilayah Rafah.

Namun, Pasukan Popular dengan tegas membantah dugaan tersebut. Dalam pernyataan resminya, kelompok itu menyebut bahwa tuduhan terhadap Hamas adalah bentuk propaganda yang tidak berdasar. Mereka menekankan bahwa insiden tersebut murni konflik keluarga yang tidak ada kaitannya dengan persaingan faksi politik di Gaza.

Kelompok itu bahkan menyebut bahwa Hamas “terlalu lemah” untuk melakukan operasi seperti itu di wilayah yang berada di luar kontrolnya. Menurut mereka, Hamas tidak memiliki kepentingan ataupun kekuatan untuk menyerang Pasukan Popular, terutama ketika kelompok itu beroperasi terutama untuk mengamankan wilayah-wilayah tertentu tanpa agenda politik besar.

Pihak Israel turut mengonfirmasi bahwa penyebab kematian Abu Shabab adalah perselisihan keluarga, bukan operasi militer terencana. Seorang pejabat keamanan Israel menyebut Abu Shabab sebagai pemimpin kelompok anti-Hamas yang kerap bersinggungan dengan keluarga lokal akibat tindakan pengamanan internal yang keras.

Keterangan Israel tersebut memperkuat posisi Pasukan Popular yang berusaha meredam rumor keterlibatan Hamas. Meski demikian, suasana kecurigaan tetap terasa di Gaza, mengingat persaingan faksi dan dinamika kekuasaan lokal sering kali mempengaruhi persepsi publik terhadap insiden semacam ini.

Di banyak wilayah Gaza, keluarga besar atau klan masih memiliki peran penting dalam struktur sosial. Sengketa menyangkut kehormatan atau perlakuan yang dianggap menyinggung dapat berkembang cepat menjadi kekerasan, terutama ketika jalur penyelesaian formal tidak berjalan efektif. Faktor itulah yang diyakini memperparah eskalasi dalam kasus Abu Shabab.

Para analis menilai bahwa insiden ini menunjukkan betapa rentannya Gaza terhadap konflik horizontal yang tidak selalu berkaitan dengan faksi politik besar. Ketika senjata tersebar luas dan otoritas hukum lemah, sengketa kecil dapat dengan mudah menelan korban jiwa, bahkan di antara tokoh militer lokal yang berpengaruh.

Bagi Pasukan Popular, kematian pemimpinnya merupakan pukulan serius yang dapat memicu ketidakpastian internal. Kelompok itu selama ini dikenal memiliki hubungan informal dengan jaringan keamanan Israel dan dianggap sebagai salah satu kekuatan yang menentang pengaruh Hamas di Rafah.

Meski begitu, kelompok tersebut berusaha memastikan bahwa kematian Abu Shabab tidak dipolitisasi. Mereka menegaskan bahwa hubungan mereka dengan Hamas bukanlah hubungan permusuhan langsung, melainkan sekadar perbedaan pandangan mengenai keamanan lokal dan penanganan ketertiban di wilayah tertentu.

Di sisi lain, masyarakat Gaza kini menunggu bagaimana Pasukan Popular menata ulang struktur kepemimpinannya. Ketiadaan figur kuat seperti Abu Shabab dapat memunculkan ketegangan baru, terutama jika beberapa kubu internal mulai berlomba mengisi kekosongan kekuasaan.

Situasi ini menambah kompleksitas kondisi Gaza yang sudah dipenuhi berbagai kelompok bersenjata kecil yang mengklaim mewakili kepentingan komunitas tertentu. Persaingan di antara mereka sering kali bukan soal ideologi, tetapi soal kontrol wilayah, distribusi sumber daya, dan kepentingan keluarga besar.

Kematian Abu Shabab juga memperlihatkan bagaimana dinamika kekuasaan di Gaza tidak hanya ditentukan oleh Hamas atau Israel, melainkan juga oleh hubungan internal antar-keluarga dan kelompok lokal. Dalam banyak kasus, konflik keluarga justru lebih sulit dikendalikan karena tidak memiliki struktur komando yang rapi.

Hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa insiden ini akan memicu eskalasi besar. Namun ketegangan di tingkat lokal tetap ada, terutama di komunitas Abu Sanima yang kini berada dalam sorotan setelah salah satu anggotanya dinyatakan menjadi pelaku penembakan.

Para tokoh masyarakat setempat mencoba melakukan mediasi untuk mencegah munculnya aksi balas dendam. Mereka berharap kedua keluarga dan Pasukan Popular dapat menerima proses penyelidikan tanpa memicu kekerasan lanjutan.

Di tengah suasana tegang itu, satu pesan yang terus ditekankan Pasukan Popular adalah bahwa Hamas tidak terlibat sedikit pun dalam insiden tersebut. Mereka menegaskan bahwa upaya menghubung-hubungkan Hamas hanya akan memperkeruh keadaan dan membuka ruang bagi konflik baru yang tidak perlu.

Untuk saat ini, Gaza kembali menghadapi kenyataan bahwa konflik internal bisa sama mematikannya dengan pertempuran antar-faksi besar. Kematian Abu Shabab menjadi pengingat bahwa stabilitas di wilayah itu masih rapuh, dan setiap percikan sekecil apa pun dapat menyulut ketegangan baru.

Share this:

 
Copyright © Berita Tampahan. Designed by OddThemes